Monday, July 21, 2014

[Cerpen] Time Has Flown Away


-Anila-
Ubud akhir bulan Juni.
Ini masih langit yang sama. Langit yang berwarna biru, dengan riak-riak awan di sekelilingnya. Langit yang bahkan nyaris sama dengan yang terakhir kulihat bersama seorang lelaki jangkung, berambut hitam kelam, yang juga sangat suka mendongeng.

Ah..ya, namanya Garga. Gara-gara mengenang pertemuan terakhir itu, imajinasiku tiba-tiba membentuk awan menjadi berbagai macam hal. Kuda, banteng, bentuk hati. Aku bahkan bisa membuat jalinan cerita dari awan-awan tersebut. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri.

Desau angin terdengar merdu  bagaikan gesekan biola seorang maestro. Mendayu-dayu, membelai lembut pipiku. Sesekali menyingkap bagian bawah rok selututku. Dulu, Garga sering bercerita tentang serba-serbi alam. Sejarah angin, Kerajaan Awan dan hal-hal aneh lainnya. Hal aneh yang sebenarnya kurang cocok diperdengarkan padaku, yang sejak SMP menggilai sejarah berbau politik atau peperangan. Tetapi Garga memang pandai memikat siapa saja. Dan ya, kuakui—aku merindukan cerita itu sekarang. Aku rindu dipanggil Putri Angin, sebagaimana namaku yang berasal dari bahasa Sansekerta: Anila Nareswari. Permaisuri angin.

Bangku di sebelahku masih kosong. Hanya angin yang setia menemani. Aku masih menunggunya di sini. Kuharap kali ini dia tidak mengingkari janjinya lagi hanya karena ketiduran.

Sudah jam 18.30, desahku. Baiklah, aku akan menunggunya sampai menjelang malam. Aku telah berjuang melewati tahun-tahun tanpa pertemuan dengannya. Jadi, toh keterlambatannya kali ini bukanlah masalah besar.
***
-Garga-
Sial...sial...sial..., umpatku dalam hati.

Karena seharian di kampus dan terjebak macet menuju rumah, aku jadi lupa kalau hari ini punya janji dengan Anila.  Aku bahkan jadi mandi terburu-buru. Ditambah lagi selangkanganku sampai disodok oleh pinggiran kursi. Tidak ada waktu untuk merasakan sakit. Anila menungguku. Dalam hati, aku tak henti-hentinya meminta maaf. Bodoh juga, sih. Toh, gadis itu tak tahu betapa berjuangnya aku. Paling banter juga, dia menyangka aku ketiduran.

Kulirik jam tanganku, 19.00. Sial. Aku terlambat delapan jam (kami janjian jam 1). Kupacu sepeda motorku menuju taman tempat kami janjian.

Taman ini unik. Memiliki sebuah danau di tengahnya, tempat aku dan Anila biasa menghabiskan waktu (baca: aku dengan khayalanku, Anila dengan buku-buku “berat”nya). Aku celingukan mencarinya. Tepian danau kosong, hanya suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Aku berjalan mengitari taman, dan akhirnya menemukannya tengah duduk memeluk lutut di bangku taman. Badannya menggigil. Buku biografi tebal yang teronggok di sampingnya bahkan nampak pucat dari sini. Sejak kapan Ubud ada musim dingin, sih? batinku.

Menyaksikan dia menggigil kedinginan karena menungguku, menimbulkan semilir dingin di tulang punggungku. Kemudian menusuk hatiku. Aku berjingkat perlahan mendekatinya dan kusampirkan jaketku—membungkus badannya.

“Garga?!” pekiknya agak bergetar. Menyenangkan mendengar namaku keluar dari bibir mungilnya. Aku sendiri tak dapat membalas tatapannya lama-lama. Aku mengalihkan mata pada danau yang kian lama kian tak beriak. Nadanya saat menyebut namaku bahkan samar di telingaku. Entah lega, kesal, terkejut, atau mungkin bingung. “Aku mau ngasih tau sesuatu,” sambungnya mengagetkanku.

 “Aku juga!” sergahku.
“Aku dulu..” pintanya.
“Jangan! Aku laki-laki! Aku harus duluan!” keringat dingin mengucur pelan di pelipisku. Aku sendiri kaget mendapati diriku baru saja membentaknya.

Anila pun akhirnya bungkam. Wajahnya semakin sendu. Seketika hening. Dinginnya udara malam memeluk kami berdua.
Bertahun-tahun aku mencampakkan perasaanku sendiri. Mengulur-ulur waktu, seolah tahu kapan saat terbaik. Membungkam dan merahasiakan segalanya.

Dan kini, entah mengapa jantungku berdebar semakin dahsyat. Tidak lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Seakan-akan selalu ada sesuatu yang mengejarku, hendak menghantamku. Kurasakan kepalaku semakin pening saja, sementara wajah Anila semakin kabur di mataku. Ya ampun, Anila.. Kamu harus tahu semuanya. Detik ini juga.

“Garga, maaf.. Aku..”
“Aku sayang kamu,” potongku cepat, hanya dalam satu helaan napas.
“........” tak ada jawaban.
Aku mengangkat dagunya. Mata kami bertatapan.
“Aku sayang kamu, Anila,” bisikku pelan.

Bahu Anila mulai terguncang. Isak tangis keluar dari bibir mungilnya. Menyaksikan wanita kesayanganku menangis, rasanya seperti luka yang ditetesi jeruk nipis.

“Kenapa begitu lama, Garga?” Tangis Anila benar-benar pecah sekarang. “Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?” Dia memperlihatkan jari manisnya. Sebuah cincin perak melingkar indah disana.

Dan tubuhku pun melemas.

***
-Anila-
Aku merasa hancur saat matanya tidak berkedip dari cincin perak di jemariku. Matanya yang lelah—menampakkan kesungguhan. Tapi aku sudah memilih. Memilih untuk tak terjebak terlalu lama dalam “kebisuan” yang selama bertahun-tahun ini tercipta.

Aku telah menarik diriku dari kubangan perasaan yang tak jelas padanya. Kulihat Garga sibuk dengan keseruannya sendiri.  Ia bahkan tak pernah mengawali pembicaraan selain soal khayalan-khayalannya.  Aku—sebagai perempuan—merasa tak pernah disuguhi kesempatan untuk mendapatkan kejujuran.

Dan kini ia tertawa, membuat hatiku semakin hancur.
Ia masih tertawa, dan aku masih menangis.
Lalu hening lagi.
“Jadi... kapan?” tanyanya seraya menyeka mata.
“Besok,” lirihku.
Kemudian sepi.

Udara malam semakin dingin. Aku kembali menggigil di tengah isak tangis.
“Ada kafe yang baru buka di dekat sini. Kesana aja, yuk. Disini mulai dingin.”
Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung menggamit lenganku, dan kami pun berjalan menuju kafe tersebut.

Aku memesan secangkir cappucino dan Garga memesan kopi hitam. Kafe ini tidak begitu besar, tapi pengunjungnya ramai. Canda tawa terdengar bergantian. Memenuhi paru-paruku yang sedari tadi sesak oleh kesedihan.

Garga menatapku sambil bertopang dagu.
“Sekarang jam berapa, La?”
“Delapan lebih—” jawabku sambil mengira-ngira maksud dari pertanyaannya. Bukankah dia punya jam tangan sendiri. Satu hal yang terlewat dariku, karena dia dulu selalu berkata, ‘hidupku nggak terikat waktu’.

“Lebihnya banyak atau sedikit?” sambungnya nampak ingin bercanda.
Minuman kami datang. Masih mengepul, menguarkan aroma khas. Aku mengucapkan terimakasih kepada pelayan yang tersenyum menatap kami.
Aku meletakkan telunjuk di pelipis, seakan-akan berpikir keras.

“Atau,” jawabku akhirnya.
“Sialan,” umpatnya dengan wajah dongkol. Aku hanya melet-melet tanda kemenangan. Menyembunyikan kesedihan yang sedari tadi mencekikku.
Garga pun tertawa lepas. Tawa yang tampaknya benar-benar ia nikmati.

Kemudian kebisuan kembali mendera kami. Oh ayolah, Garga. Tidak bisakah kamu mengatakan sesuatu yang manis? Ini adalah pertemuan terakhir kita, teriakku dalam hati.

Kulihat jam berdetik tidak terlalu energik. Tetapi suaranya membuyarkan konsentrasiku. Kulirik pepohonan rimbun di seberang kafe masih bersahabat dengan angin. Tapi gesekan antar daunnya mengalahkan suara mesin mobil para borju yang setiap musim liburan sudah pasti berjajar di halaman parkir hotel bintang lima.

Aku bukan anak rumahan. Tapi aku benci ke luar rumah jika hanya disuguhi udara yang sesak oleh kata-kata yang beterbangan. Apalagi ini bukan sekali dua kali. Sudah lama aku mengharapkan pertemuan yang sebenarnya.

“Jam berapa, La?”
“Delapan.”
“Maksudku besok—“
Kulihat Garga menggigit bibir bawahnya. Bersiap mendengarkan jawabanku.
“Sembilan pagi. Kenapa?”
“Ngg.. nggak.” Garga mengalihkan perhatian dengan menyeruput kopinya. Satu kata kembali terbang.

Aku mendengus (lagi) seraya meremas cincin yang rasa-rasanya ingin kubuang saat ini. Wajah Garga yang mendadak memucat, membuatku tak tahan menahan genangan air di pelupuk mata.

Apa masih ada yang kamu pikirkan—dan aku nggak tahu?

***
-Garga-
“Seenggaknya, ada empat belas jam lagi, La..” ucapku bersyukur.
“Empat belas jam apa?” rupanya Anila belum jua mengerti.
“Empat belas jam yang tersisa untuk aku sama kamu,” sambungku semakin parau.

Akhirnya kami kembali menangis. Bersama. Kemudian aku bercanda, dan ia tertawa. Lalu dia bertanya, dan aku menjawab. Jawabanku rupanya tak sesuai dengan keinginannya. Ia menangis lagi. Dan begitu seterusnya sampai pukul 11 malam. Seisi kafe memandang kami, seakan kami adalah dua alien yang tersesat di bumi. Tapi kami tidak mempedulikan itu semua. Ini adalah saat-saat terakhir.

Tapi semua kebahagiaan memang ada akhirnya. Seseorang menelpon Anila dan menyuruhnya segera pulang.
Ini bukan jangkauanku, batinku lirih.

Kami saling menatap penuh arti. Dengan senyuman di bibir, tapi kesenduan di mata. Tidak banyak kalimat cinta dan sayang yang kuucapkan padanya. Karena aku percaya, perasaan yang tulus itu terkadang lebih baik tidak diutarakan lewat kata-kata manis dan memabukkan, tapi ditunjukkan lewat perbuatan.

Kami beranjak ke parkiran taman. Anila mengekor sambil mengeluarkan sweter dari tas jinjingnya dan menyampirkan jaketku di bahuku. Aku tersenyum, menggenggam erat tangannya, lalu mengecup keningnya lembut. Semoga kau bahagia, Anila.

Entah mengapa tiba-tiba kami terbahak-bahak saat melihat bengkak di mata. Seolah semalaman kami sudah bermain drama penuh air mata.

Aku senang bisa pulang dengan Anila malam ini. Setidaknya untuk yang terakhir kali. Segala luka yang menganga sepertinya memang tak perlu terus dirasa.
“Besok aku datang sama siapa, ya?” tanyaku (lebih pada diri sendiri).
Lalu Anila mendekapku erat dari belakang. Hangat.

***
-Anila-
Aku masih belum paham, mengapa Tuhan menciptakan senja hanya untuk menyambut permadani hitam yang bahkan belum tentu ada bintangnya? Mengapa juga Tuhan mempertemukan aku dengan lelaki seperti kamu, yang bahkan belum tentu besok masih atau akan tetap ada di sini.

Sepanjang jalan aku dan Garga berbagi lagu lewat headsetku. Sebuah lagu sendu mengalun, membuatku hampir menangis lagi di punggungnya. Pelukanku semakin erat saja.

Ada yang tak sempat tergambarkan oleh kata
Ketika kita berdua
Hanya aku yang bisa bertanya
Mungkinkah kau tahu jawabnya

Malam jadi saksinya
Kita berdua diantara kata
Yang tak terucap
Berharap waktu membawa keberanian
Untuk datang membawa jawaban

Mungkinkah kita ada kesempatan
Ucapkan janji takkan berpisah selamanya

***

Ini adalah cerpen kolabaroasi gua dengan Astari Dinar. Dia yang punya blog Interleaved. Ini pertama kalinya gua bikin cerpen bareng. Jadi mungkin banyak kesalahan. Kami membuat cerpen ini hampir dua bulan. Lama banget emang. 
Silakan dikritik ya cerpennya. Kalau ada yang mau kolaborasi dengan gua, boleh kirim email ke azeegha@gmail.com. Kalau ada yang pernah ngalamin kisah kayak gini juga, silakan berbagi di kotak komentar ya. bye bye








24 comments:

  1. Duh suka sebel sama cerita kaya gini. Kenapa sih mesti kelamaan-kelamaan gini.
    Ah ya, tapi bagus man cerpennya terlepas dr gue kurang sm cerita yg gak happy ending diksinya bagus banget!

    ReplyDelete
    Replies
    1. kelamaan ngungkapin ya? haha
      wah, itu kerjaan partner gua kak. dia jago diksi

      Delete
  2. bagus ceritanya walaupun ga happy ending :) Lagu Payung Teduhnya menambah kesenduan cerita...

    ReplyDelete
  3. Bagus ceritanya, 2 bulan kelamaan mikir idenya atau nulisnya?
    Oh iya gue gak pernah mengalami hal yg dicerpen, malah gue mengalami sebaliknya. Gue menyatakan lebih cepat daripada waktu yg berdetik sehingga kalimat yg mengartikan tolakan itu pun gue dengar dan gue hanya bisa tersenyum lalu menangis dalam gelap

    ReplyDelete
    Replies
    1. nulisnya kak. banyak revisi. haha
      duh ditolak ya. #pukpuk deh

      Delete
  4. Ceritanya bagus. Gak membuat gw bosan. Secara, gw bukan pribadi yang suka membaca artikel panjang. Artikel panjang itu seolah buku yang isinya seribu tugas dan harus dikumpulkan sedetik setelah pemberian tugas tersebut. Tanpa berpikir panjang, gw berhasil terhipnotis sama cerpen ini! Fantastic

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah iya. tadi gua kirain bakalan byk yg bosan karena kepanjangan ini. syukur deh suka. haha

      Delete
  5. Duuuhhh pinter banget sih bikin cerpen...
    Aku cuma bisa baca, nggak bisa nulis :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. lah ini barusan nulis komentar kak. haha
      coba aja dulu

      Delete
  6. Hihihi~ aku jadi senyam senyum sendiri ^,^
    #numpanglewat ya bang

    ReplyDelete
    Replies
    1. senyam senyum knp?
      iya. hati-hati ya

      Delete
    2. Ya bersyukur aja, udah mayan banyak yg baca nih cerpen. Well, umat blog Bangjet emang udah banyak ya. Aku blm promote Time Has Flown Away yg di blog aku. Mau sekarang ah.. Ya walaupun gatau jg siapa aja yg bakal "datang" -.-

      Delete
    3. gak banyak amat sih. coba lo sering2 promot aja dulu. perbanyak blogwalking juga ya

      Delete
  7. Serius, ini dibikin oleh dua kepala? #Keren. Gak mudah memadu padankan 2 karya jadi satu. Apalagi hasil 2 pikiran.

    Gue belum kelar bacanya, masih di tempat kerja. Entar malem ingetin gue ya buat lanjutin bacanya. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya. makanya lama. dua bulan. haha

      nih gua lagi ingetin nih. jangan lupa baca ya

      Delete
  8. ini cerpen bagus bang
    pas "Ada yang tak sempat tergambarkan oleh kata ketika kita berdua"
    duhduhduh top deh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Info lewaaaat~
      FYI, itu lagunya Payung Teduh (udah tau blm?)
      Search di souncloud aja kak. Itu band memang menggalau-galau. #maafnyamber

      Delete
    2. nah udah dibales deh tuh sama partner gua. gua juga sebenarnya gak tau kalau itu dari lirik lagu. haha

      Delete
  9. Nah ini akhirnya keluar juga karya kolaborasi.
    Bagus lagi, sinkron. Eh, banyak revisi ya, tapi akhirnya berhasil di-sinkron-kan dalam dua bulan. Bagus bagus.
    Ayo kalian bikin lagii!

    Untuk partnernya Zega, ide bagus cerita sendu dipasangin sama lagu Payung Teduh. Duh, duh, duh adem. Hihihi~ <3

    ReplyDelete
  10. Gak percuma dibikinnya lama, hasilnya juga bagus. Keren lah pokoknya. Ditunggu terus deh karya kolaborasinya, man. :)

    ReplyDelete
  11. Aku dan khayalanku, anila dengan buku buku beratnya di bagian ini aku bingung rett,

    Overall setiap penulis.punya style masing masing, aku gak berhak kritik, selagi pesan cerita tersampaikan buatku itu udah berhasil mewakili gaya tulisan, alur, dsbnya
    Yg terpenting pesan ceritanya aku paham, dibagian itu aja rada ganjil menurutku

    Heheh

    ReplyDelete

Berkomentarlah sebelum berkomentar itu diharamkan