Monday, July 21, 2014

[Cerpen] Time Has Flown Away


-Anila-
Ubud akhir bulan Juni.
Ini masih langit yang sama. Langit yang berwarna biru, dengan riak-riak awan di sekelilingnya. Langit yang bahkan nyaris sama dengan yang terakhir kulihat bersama seorang lelaki jangkung, berambut hitam kelam, yang juga sangat suka mendongeng.

Ah..ya, namanya Garga. Gara-gara mengenang pertemuan terakhir itu, imajinasiku tiba-tiba membentuk awan menjadi berbagai macam hal. Kuda, banteng, bentuk hati. Aku bahkan bisa membuat jalinan cerita dari awan-awan tersebut. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri.

Desau angin terdengar merdu  bagaikan gesekan biola seorang maestro. Mendayu-dayu, membelai lembut pipiku. Sesekali menyingkap bagian bawah rok selututku. Dulu, Garga sering bercerita tentang serba-serbi alam. Sejarah angin, Kerajaan Awan dan hal-hal aneh lainnya. Hal aneh yang sebenarnya kurang cocok diperdengarkan padaku, yang sejak SMP menggilai sejarah berbau politik atau peperangan. Tetapi Garga memang pandai memikat siapa saja. Dan ya, kuakui—aku merindukan cerita itu sekarang. Aku rindu dipanggil Putri Angin, sebagaimana namaku yang berasal dari bahasa Sansekerta: Anila Nareswari. Permaisuri angin.

Bangku di sebelahku masih kosong. Hanya angin yang setia menemani. Aku masih menunggunya di sini. Kuharap kali ini dia tidak mengingkari janjinya lagi hanya karena ketiduran.

Sudah jam 18.30, desahku. Baiklah, aku akan menunggunya sampai menjelang malam. Aku telah berjuang melewati tahun-tahun tanpa pertemuan dengannya. Jadi, toh keterlambatannya kali ini bukanlah masalah besar.
***
-Garga-
Sial...sial...sial..., umpatku dalam hati.

Karena seharian di kampus dan terjebak macet menuju rumah, aku jadi lupa kalau hari ini punya janji dengan Anila.  Aku bahkan jadi mandi terburu-buru. Ditambah lagi selangkanganku sampai disodok oleh pinggiran kursi. Tidak ada waktu untuk merasakan sakit. Anila menungguku. Dalam hati, aku tak henti-hentinya meminta maaf. Bodoh juga, sih. Toh, gadis itu tak tahu betapa berjuangnya aku. Paling banter juga, dia menyangka aku ketiduran.

Kulirik jam tanganku, 19.00. Sial. Aku terlambat delapan jam (kami janjian jam 1). Kupacu sepeda motorku menuju taman tempat kami janjian.

Taman ini unik. Memiliki sebuah danau di tengahnya, tempat aku dan Anila biasa menghabiskan waktu (baca: aku dengan khayalanku, Anila dengan buku-buku “berat”nya). Aku celingukan mencarinya. Tepian danau kosong, hanya suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Aku berjalan mengitari taman, dan akhirnya menemukannya tengah duduk memeluk lutut di bangku taman. Badannya menggigil. Buku biografi tebal yang teronggok di sampingnya bahkan nampak pucat dari sini. Sejak kapan Ubud ada musim dingin, sih? batinku.

Menyaksikan dia menggigil kedinginan karena menungguku, menimbulkan semilir dingin di tulang punggungku. Kemudian menusuk hatiku. Aku berjingkat perlahan mendekatinya dan kusampirkan jaketku—membungkus badannya.

“Garga?!” pekiknya agak bergetar. Menyenangkan mendengar namaku keluar dari bibir mungilnya. Aku sendiri tak dapat membalas tatapannya lama-lama. Aku mengalihkan mata pada danau yang kian lama kian tak beriak. Nadanya saat menyebut namaku bahkan samar di telingaku. Entah lega, kesal, terkejut, atau mungkin bingung. “Aku mau ngasih tau sesuatu,” sambungnya mengagetkanku.

 “Aku juga!” sergahku.
“Aku dulu..” pintanya.
“Jangan! Aku laki-laki! Aku harus duluan!” keringat dingin mengucur pelan di pelipisku. Aku sendiri kaget mendapati diriku baru saja membentaknya.

Anila pun akhirnya bungkam. Wajahnya semakin sendu. Seketika hening. Dinginnya udara malam memeluk kami berdua.
Bertahun-tahun aku mencampakkan perasaanku sendiri. Mengulur-ulur waktu, seolah tahu kapan saat terbaik. Membungkam dan merahasiakan segalanya.

Dan kini, entah mengapa jantungku berdebar semakin dahsyat. Tidak lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Seakan-akan selalu ada sesuatu yang mengejarku, hendak menghantamku. Kurasakan kepalaku semakin pening saja, sementara wajah Anila semakin kabur di mataku. Ya ampun, Anila.. Kamu harus tahu semuanya. Detik ini juga.

“Garga, maaf.. Aku..”
“Aku sayang kamu,” potongku cepat, hanya dalam satu helaan napas.
“........” tak ada jawaban.
Aku mengangkat dagunya. Mata kami bertatapan.
“Aku sayang kamu, Anila,” bisikku pelan.

Bahu Anila mulai terguncang. Isak tangis keluar dari bibir mungilnya. Menyaksikan wanita kesayanganku menangis, rasanya seperti luka yang ditetesi jeruk nipis.

“Kenapa begitu lama, Garga?” Tangis Anila benar-benar pecah sekarang. “Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?” Dia memperlihatkan jari manisnya. Sebuah cincin perak melingkar indah disana.

Dan tubuhku pun melemas.

***
-Anila-
Aku merasa hancur saat matanya tidak berkedip dari cincin perak di jemariku. Matanya yang lelah—menampakkan kesungguhan. Tapi aku sudah memilih. Memilih untuk tak terjebak terlalu lama dalam “kebisuan” yang selama bertahun-tahun ini tercipta.

Aku telah menarik diriku dari kubangan perasaan yang tak jelas padanya. Kulihat Garga sibuk dengan keseruannya sendiri.  Ia bahkan tak pernah mengawali pembicaraan selain soal khayalan-khayalannya.  Aku—sebagai perempuan—merasa tak pernah disuguhi kesempatan untuk mendapatkan kejujuran.

Dan kini ia tertawa, membuat hatiku semakin hancur.
Ia masih tertawa, dan aku masih menangis.
Lalu hening lagi.
“Jadi... kapan?” tanyanya seraya menyeka mata.
“Besok,” lirihku.
Kemudian sepi.

Udara malam semakin dingin. Aku kembali menggigil di tengah isak tangis.
“Ada kafe yang baru buka di dekat sini. Kesana aja, yuk. Disini mulai dingin.”
Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung menggamit lenganku, dan kami pun berjalan menuju kafe tersebut.

Aku memesan secangkir cappucino dan Garga memesan kopi hitam. Kafe ini tidak begitu besar, tapi pengunjungnya ramai. Canda tawa terdengar bergantian. Memenuhi paru-paruku yang sedari tadi sesak oleh kesedihan.

Garga menatapku sambil bertopang dagu.
“Sekarang jam berapa, La?”
“Delapan lebih—” jawabku sambil mengira-ngira maksud dari pertanyaannya. Bukankah dia punya jam tangan sendiri. Satu hal yang terlewat dariku, karena dia dulu selalu berkata, ‘hidupku nggak terikat waktu’.

“Lebihnya banyak atau sedikit?” sambungnya nampak ingin bercanda.
Minuman kami datang. Masih mengepul, menguarkan aroma khas. Aku mengucapkan terimakasih kepada pelayan yang tersenyum menatap kami.
Aku meletakkan telunjuk di pelipis, seakan-akan berpikir keras.

“Atau,” jawabku akhirnya.
“Sialan,” umpatnya dengan wajah dongkol. Aku hanya melet-melet tanda kemenangan. Menyembunyikan kesedihan yang sedari tadi mencekikku.
Garga pun tertawa lepas. Tawa yang tampaknya benar-benar ia nikmati.

Kemudian kebisuan kembali mendera kami. Oh ayolah, Garga. Tidak bisakah kamu mengatakan sesuatu yang manis? Ini adalah pertemuan terakhir kita, teriakku dalam hati.

Kulihat jam berdetik tidak terlalu energik. Tetapi suaranya membuyarkan konsentrasiku. Kulirik pepohonan rimbun di seberang kafe masih bersahabat dengan angin. Tapi gesekan antar daunnya mengalahkan suara mesin mobil para borju yang setiap musim liburan sudah pasti berjajar di halaman parkir hotel bintang lima.

Aku bukan anak rumahan. Tapi aku benci ke luar rumah jika hanya disuguhi udara yang sesak oleh kata-kata yang beterbangan. Apalagi ini bukan sekali dua kali. Sudah lama aku mengharapkan pertemuan yang sebenarnya.

“Jam berapa, La?”
“Delapan.”
“Maksudku besok—“
Kulihat Garga menggigit bibir bawahnya. Bersiap mendengarkan jawabanku.
“Sembilan pagi. Kenapa?”
“Ngg.. nggak.” Garga mengalihkan perhatian dengan menyeruput kopinya. Satu kata kembali terbang.

Aku mendengus (lagi) seraya meremas cincin yang rasa-rasanya ingin kubuang saat ini. Wajah Garga yang mendadak memucat, membuatku tak tahan menahan genangan air di pelupuk mata.

Apa masih ada yang kamu pikirkan—dan aku nggak tahu?

***
-Garga-
“Seenggaknya, ada empat belas jam lagi, La..” ucapku bersyukur.
“Empat belas jam apa?” rupanya Anila belum jua mengerti.
“Empat belas jam yang tersisa untuk aku sama kamu,” sambungku semakin parau.

Akhirnya kami kembali menangis. Bersama. Kemudian aku bercanda, dan ia tertawa. Lalu dia bertanya, dan aku menjawab. Jawabanku rupanya tak sesuai dengan keinginannya. Ia menangis lagi. Dan begitu seterusnya sampai pukul 11 malam. Seisi kafe memandang kami, seakan kami adalah dua alien yang tersesat di bumi. Tapi kami tidak mempedulikan itu semua. Ini adalah saat-saat terakhir.

Tapi semua kebahagiaan memang ada akhirnya. Seseorang menelpon Anila dan menyuruhnya segera pulang.
Ini bukan jangkauanku, batinku lirih.

Kami saling menatap penuh arti. Dengan senyuman di bibir, tapi kesenduan di mata. Tidak banyak kalimat cinta dan sayang yang kuucapkan padanya. Karena aku percaya, perasaan yang tulus itu terkadang lebih baik tidak diutarakan lewat kata-kata manis dan memabukkan, tapi ditunjukkan lewat perbuatan.

Kami beranjak ke parkiran taman. Anila mengekor sambil mengeluarkan sweter dari tas jinjingnya dan menyampirkan jaketku di bahuku. Aku tersenyum, menggenggam erat tangannya, lalu mengecup keningnya lembut. Semoga kau bahagia, Anila.

Entah mengapa tiba-tiba kami terbahak-bahak saat melihat bengkak di mata. Seolah semalaman kami sudah bermain drama penuh air mata.

Aku senang bisa pulang dengan Anila malam ini. Setidaknya untuk yang terakhir kali. Segala luka yang menganga sepertinya memang tak perlu terus dirasa.
“Besok aku datang sama siapa, ya?” tanyaku (lebih pada diri sendiri).
Lalu Anila mendekapku erat dari belakang. Hangat.

***
-Anila-
Aku masih belum paham, mengapa Tuhan menciptakan senja hanya untuk menyambut permadani hitam yang bahkan belum tentu ada bintangnya? Mengapa juga Tuhan mempertemukan aku dengan lelaki seperti kamu, yang bahkan belum tentu besok masih atau akan tetap ada di sini.

Sepanjang jalan aku dan Garga berbagi lagu lewat headsetku. Sebuah lagu sendu mengalun, membuatku hampir menangis lagi di punggungnya. Pelukanku semakin erat saja.

Ada yang tak sempat tergambarkan oleh kata
Ketika kita berdua
Hanya aku yang bisa bertanya
Mungkinkah kau tahu jawabnya

Malam jadi saksinya
Kita berdua diantara kata
Yang tak terucap
Berharap waktu membawa keberanian
Untuk datang membawa jawaban

Mungkinkah kita ada kesempatan
Ucapkan janji takkan berpisah selamanya

***

Ini adalah cerpen kolabaroasi gua dengan Astari Dinar. Dia yang punya blog Interleaved. Ini pertama kalinya gua bikin cerpen bareng. Jadi mungkin banyak kesalahan. Kami membuat cerpen ini hampir dua bulan. Lama banget emang. 
Silakan dikritik ya cerpennya. Kalau ada yang mau kolaborasi dengan gua, boleh kirim email ke azeegha@gmail.com. Kalau ada yang pernah ngalamin kisah kayak gini juga, silakan berbagi di kotak komentar ya. bye bye








Lanjut Baca Terus >>>

Thursday, July 17, 2014

[KONSULTASAL] Perihnya Brother Zone



Jumpa lagi di segmen KONSULTASAL. Ternyata masih ada yang berniat curhat sama gua. Mungkin gua harus buka kantor beneran. Anyway, kali ini yang curhat adalah Fadil. Tentu saja ini nama samaran. Yuk, kita simak curhatannya.

Gue bingung mau konsultasi apa, ada banyak cerita sih hahahaha.Jangan publish nama gue ya nanti, eh publish ga ya. Au ah. -_-Karmaaan, gue kena familyzone. Kakak-adik-zone.Gue sama dia saling suka, saling sayang, sebut namanya itu Eep. *nahan ketawa*.  
Kita berdua ya gitu deh, saling nyaman.Dia pernah nembak gue, ya gue kira sih bercanda doang, gue diem2 aja. Jauh sih anaknya, Bandung. Eyak. Hahahahaha.Jadi, ya kita berdua itu gamau pacaran grgr takut hubungan kakak adik rusak, tapi gue juga gamau ngelihat dia sm yg lain ya walau dia cuma kakak gue doang.Akhir-akhir ini, dia kayak jarang ngebm, tapi ya kadang ngebm telat gitu. 
Gue ngerasa diabaikan gitu, padahal dia udah janji gabakal ninggalin gue dgn status ya kita emg kakak-adik-an.Dia dekat sama mantannya lagi, ya gue kdg agak gmn gt.Jadi, menurut lo karman, gue harus gimana? Ngerelain? Atau ngebiarin perasaan ini tetap ada?Tapi, ya gue juga emg nyaman sih jadi adik dia doang, berasa dijaga dari jauh. 

Gitu ajasih ya paling, udah nanya2 teman yang lain, tapi gue juga butuh saran lo deh karman.K. Bye.

Gua sebenarnya baru tau sih ada familyzone. Kalau ke mall, familyzone adalah area permainan semacam time zone gitu. Dan gua sempat berpikir apakah lo sedang jatuh cinta ke salah seorang anggota keluarga lo. Tukang kebun mungkin.

Ternyata, ini adalah hubungan di antara dua orang anak manusia yang lebih nyaman untuk saling menyayangi sebagai saudara. Kayaknya kata yang tepat adalah brotherzone.
Mengapa lo bisa saling suka, saling sayang, tapi tidak berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi? Seperti SMA gitu. Bukankah pemerintah sudah mencanangkan program wajib pacaran 12 tahun? Kalau tidak mampu, ada dana BOS kan? Bantuan Operasional Sejomblo.

Oke itu ngawur.

Kenapa lo gak pacaran aja. Toh saling suka, saling sayang. Menurut gua sih, satu-satunya penghalang hanyalah jarak. Lo disini, dia disana, terbentang luas samudera biru, memisahkan kitaaaa..... *maaf, kebawa suasana*

Jadi intinya, lo itu kena kasus dengan pasal berlapis. Kasus LDR Brotherzone. Ibaratnya, lo jatuh, kepala lo terantuk, tertimpa tangga, kemudian difotoin orang. Benar-benar sakit.

Mungkin lo harus lebih selidiki yang namanya Eep. Btw, gak ada nama lain gitu ya? Gua bisa typo parah nih kalau nyebut nama dia.

Kenapa lo harus selidiki dia? Karena cowok emang kebanyakan lebih nyaman ketika masa pdkt. Masa tanpa status. Karena masih sama-sama jaim, jadi yang terasa manisnya aja. Itulah enaknya pdkt.

Selain itu, dengan hubungan yang tanpa status dengan lo, berarti dia bisa kecengin cewek lain. Kalian cuma sayang-sayangan sebatas chat kan? Siapa yang tau kalau di Bandung sana dia sayang-sayangan sama cewek lain sambil belai sana belai sini. Who knows?

Mari kita berpikir positif, bahwa dia telat bbm lo, dan mengabaikan lo karena dia sedang sibuk. Sibuk sama mantan?

Janji mempertahankan hubungan kalian yang hanya kakak-adik? Mempertahankan hubungan yang gak jelas? itu bukanlah janji menurut gua. Itu hanyalah ocehan untuk menenangkan lo semata. Janji itu adalah ketika dia bilang, “Mungkin hubungan kita untuk sekarang adalah kakak-adik. Tapi percayalah, kita akan menjadi ayah-bunda kelak.”

Gilaa. Kurang keren apalagi gua buat kalimat kayak gitu.

Gua pernah baca gini, “Kelemahan cowok adalah, terlalu mudah berjanji. Dan kelemahan cewek adalah terlalu mudah mempercayainya.”

Menurut gua sih lo harus berusaha untuk mencari cowok lain. Yang lebih komitmen sama lo. Menjaga dari jauh? Menjaga dengan chat? Itu bullshit sih menurut gua. Karena sekuat-kuatnya lo bertahan dengan kalimat dijaga dari jauh, tetep aja lo butuh tangan yang bisa memeluk lo, butuh pundak ketika lo sedang sedih, dan butuh senyumannya untuk mewarna hari lo.

Gua gak yakin itu semua bisa dilakukan dengan chat.
Mending sih kalau ada status, ini udah LDR, kakak-adik doang. Behh.

Karena sebuah pelukan nyata lebih berarti dari sekedar ({}) atau :*
Kemampuan teks terbatas dalam menyampaikan perasaan. Bahkan cenderung membuat berantem. Karena kalau lagi chat atau sms itu, tergantung dari mood yang baca.

Kalau dia lagi seneng, maka chat yang lagi marah-marah pun ditanggapi dengan baik. Tapi kalau lagi kesel, walahhh. Nuklir di Iran pun kalah. Karena text itu tidak mempunyai nada. Tidak mempunyai emosi. Beda dengan yang real.

Lagipula kalau dia cuma menganggap adik, seharusnya dia senang karena lo bisa menemukan pacar yang bisa menjaga dan melindungi.
Semoga KONSULTASAL kali ini memberi pemikiran baru bagi lo.


Nah. Itulah KONSULTASAL kali ini. Semoga Fadil bisa mengambil keputusan terbaik. Btw, hari ini Fadil ulang tahun loh. Selamat Ulang Tahun ya. *prokk prokk prokk prokk*.

Apakah lo punya saran juga kepada Fadil? Silakan tuliskan di kotak komentar. Atau lo pernah juga merasakan jenis cinta yang seperti ini? Yuk, cerita di kotak komentar.

Kalau lo mau ikutan KONSULTASAL, silakan kirim curhatan lo ke email gua : azeegha@gmail.com

Salam asal.


Lanjut Baca Terus >>>

Saturday, July 12, 2014

Kegiatan berbelanja itu mengerikan

Gua adalah salah satu dari sekian banyak cowok yang tidak suka berbelanja.
Pengalaman berbelanja dengan Mak, adalah salah satu pengalaman yang mengerikan. Keluar masuk toko, menawar barang dengan sengit, kemudian pura-pura pergi, menunggu dipanggil penjualnya. Kegiatan berbelanja ini penuh dengan kode, yang bisa jadi lebih ribet dari kode lo kepada gebetan.

Jadi, buat calon istri di masa depan, asahlah skillmu dalam berbelanja. Karena aku akan menyerahkan semua kepadamu, kelak. 

Itu kode garis keras, sayap kiri sayap kanan. 

Gua juga sangat tidak suka menawar harga barang. Kalau harganya segitu, ya gua bayar segitu. Selesai.
Makanya, gua males memberitahu harga barang yang gua beli kepada temen-temen. Karena komentarnya pasti gini..

“Ahhh. Begok banget lo. Kemarin gua liat barang ginian juga, trus gua tawar. Lo rugi 30 ribu nih.”
Muka gua èè  -___-
“Wahh ketipu nih lo. Ini seharusnya cuma segini. Coba lo perginya sama gua. Lo pasti lebih kaya 40 ribu dari sekarang. Dan lo bisa bayar utang lo ke gua.”
Muka gua èè  -___-

Temen gua mendadak jadi kampret semua kalau udah urusan jual-beli.

Guru sosiologi gua pernah cerita, kalau penjual di toko tradisional, akan cenderung menaikkan harga barang, jika mereka melihat calon pembelinya adalah : bapak-bapak. Pake mobil. Setelannya bagus.

Karena kebanyakan bapak-bapak model gitu membenci transaksi tawar-menawar. Jadi kalau harga dinaikkan, mereka tidak akan protes, karena mereka memang tidak tahu.

Jadi gua lebih suka belanja di pasar modern gitu. Tapi kelemahannya adalah, barang di pasar modern itu mahalnya luar biasa. Karena pajak yang dikenakan kepada penjual.

Lalu, gua beralih ke toko online. Nah, gua paling suka buka web ZALORA. Disini barang yang dijual berkualitas, harga terjangkau dan gratis ongkos kirim. Buat mahasiswa dengan kantong pas-pasan, mendengar kata gratis selalu membuat radar gua aktif.

Kebetulan gua lagi pengen beli celana Chino. Supaya gua gak dianggap ketinggalan jaman.


Di ZALORA banyak banget pilihan celana Chino yang keren. Kalau bisa gua beli semua deh.
Apa daya, dompet gua lagi merajuk. Jadi gua putuskan untuk membeli celana yang ini.


Sayangnya, masih terlalu mahal untuk dompet gua. Gua tambahin di to do list untuk minggu depan aja deh. Membeli celana chino dari ZALORA.
Nah, kalau lo lebih suka berbelanja dimana? Pasar tradisional atau pasar modern atau toko online kayak gua? Yuk berbagi cerita di kolom komentar.




Lanjut Baca Terus >>>

Wednesday, July 9, 2014

Penutup #7HUD



Program 7 Hari Upgrade Diri resmi selesai pada hari minggu kemarin. Gua  memang tidak menceritakan di blog mulai dari hari kelima sampai ketujuh. Gua cuma gak pengen blog gua terasa sesak. Jadi gua rangkum aja di artikel penutup 7 Hari Upgrade Diri ini.

Selama mengikuti program ini, gua akui, gua lebih bisa fokus untuk mengerjakan sesuatu. Gua mengejar apa yang menjadi target di to-do list. Gua berlatih untuk mengalahkan rasa malas, mengabaikan godaan dan menempa diri menjadi lebih baik.

Selama 7 hari ini, gua lebih fokus kepada belajar bahasa Inggris dan terus mengasah cara menulis. Gua juga mencoba hal-hal baru seperti menulis menggunakan tangan kiri, mempelajari photoshop dan masih banyak lagi.

Gua juga belajar untuk merelakan hal-hal yang walaupun setelah gua coba, memang itu bukan bidang gua. Tak apa, setidaknya gua masih mampu di hal-hal lain.

Intinya, semua itu berguna untuk gua. Jadi, gua sangat berterimakasih kepada kakci yang telah mau mengenalkan program ini kepada gua. Mengizinkan untuk ikut bergabung,bisa menjadi tempat curhat sekaligus guru bahasa Inggris. You are such a wonderful sister.

Gua juga udah memutuskan, bakalan terus melanjutkan program upgrade diri ini. Berusaha menjadikannya sebagai gaya hidup gua. Karena ini positif banget, beneran. Buat lo yang selalu bertanya tentang mental block dan metode mencatat impian, program upgrade diri hampir sama dengan itu. Lagian, tidak ada salahnya sekedar mencoba program ini. Nothing to lose, kan?

Kalau lo pengen ikutan program ini juga, silahkan hubungi kakci. Dengan senang hati dia bakal mengajarkan semuanya sama lo. Kalau lo merasa cocok dengan program ini, silakan lanjutkan. Kalau tidak ya, setidaknya ada pengalaman baru yang udah lo coba.

Kemampuan diri kita, ditentukan oleh kita sendiri, bukan orang lain. Jadi, apakah lo mau berubah lebih baik dari sekarang, atau tetap menunggu waktu yang tepat? Itu semua terserah lo. Pilihan selalu ada. So, choose wisely J
Lanjut Baca Terus >>>