Saturday, May 28, 2016

[Cerpen] Invasi Makhluk Asing

Aku melirik sekilas kepada Ibu.

“Apakah mereka akan keluar pagi ini?”

Ibu menghentikan kegiatan mengasah parangnya. Lalu memandangku lurus-lurus, “Entahlah, Nak. Kita tunggu saja.” Kemudian, dia kembali asik mengasah parang.
Srengg..srengg..srengg. Suara parang yang beradu dengan batu asahan membuatku ngilu. Rasa ngilu seperti yang kamu rasakan ketika ada yang mencakar papan tulis dengan kuku.

Ibu mengecek ketajaman parang, membilasnya dengan air, lalu menempelkannya di jidat sambil mengucap doa yang tidak jelas bunyinya. Apakah seserius ini kondisi yang kami hadapi?


Angin pagi menggelitik tubuhku. Membawa serta aroma-aroma alam, termasuk beberapa aroma busuk. Aku bergidik. Membetulkan posisi sarung di badan.

“Apakah Ibu pernah melawan mereka sebelumnya?”

“Ya, tentu. Ketika ibu seumuranmu, nenek melakukan hal yang sama seperti yang ibu lakukan. Sambil mengunyah sirih, ‘Untuk mengusir dingin’, katanya.”

Kepalaku tiba-tiba penuh dengan berbagai adegan menyeramkan. Membayangkan ibu yang berada di posisiku sekarang. Setengah telanjang. Kuusir jauh-jauh pikiran itu.

“Apakah mereka benar-benar menyeramkan?”

Ibu tampaknya tidak terganggu dengan pertanyaanku yang datang terus menerus.

“Ya. Mereka sangat menyeramkan. Wajah dan bokong mereka benar-benar mirip. Kamu tidak akan tau apa bedanya. Kulit mereka dipenuhi lendir dan mereka selalu menggeliat menjijikkan. Bahkan, ada mitos yang mengatakan bahwa kau harus membelah kepala mereka. Jika tidak, mereka akan kembali hidup.” Ibu mempraktekkan proses pembelahan kepala kepada sebuah ranting malang yang ada di dekatnya.

Kenapa manusia suka sekali menjadikan alam sebagai bahan percobaan?

Rasa bosan mulai menggelayut di kepalaku. Aku berkali-kali menguap. Ditambah kakiku yang kesemutan karena terlalu lama jongkok. Ibu sekarang asik memainkan semprotan nyamuk. ‘Senjata tambahan’, katanya.

Parang dan semprotan nyamuk. Aku tidak akan heran kalau dari dalam daster ibu tiba-tiba keluar granat tangan.

“Apakah kita bisa melakukannya  besok atau hari lain?” Aku mencoba bernegosiasi. Rasanya aku masih belum siap untuk aktivitas seperti ini.

“Tidak. Keadaan akan memburuk jika kita terus menunda. Keadaanmu lebih tepatnya. Lagipula, ibu sudah menambahkan racun di sekitar sarangnya semalam. Dia pasti keluar hari ini.”

Tiba-tiba aku merasakan kehadirannya. Seperti Spiderman yang bisa merasakan hawa jahat dengan inderanya. Aku merasakan mereka perlahan-lahan menggeliat dari lubang yang selama ini dianggapnya rumah. Semua bulu di tubuhku meremang. Gemulai badannya santai bak Putri Keraton. Menikmati pemandangan yang ada di sekitar.

“Ibu..” erangku lemah. “Dia datang!”


“Tahan sebentar. Berusahalah lebih keras.” Ibu menggengam tanganku. “Sebentar lagi dia akan keluar. Ibu bisa melihatnya.”

Aku mengatur pernapasan. Berusaha untuk tidak melihat ke bawah. Menjaga supaya pandangan mataku tidak bertumbukan dengan mata makhluk tersebut. Aku menengadah. Formasi bintang tiba-tiba berubah menjadi sebuah naga raksasa yang siap menyemburkan api.

Ibu mengeluarkan capit dari dalam dasternya. Hmm..aku tidak melihat capit itu tadi. Kenapa bisa ada dis...

“Arrghhhhhhhh...”

Aku mengerang keras ketika ibu menarik makhluk itu dari tubuhku. “Tahan, Nak. Teruslah mendorong.” Dengan beringas, ibu menarik tubuh makhluk itu. Kasar seperti petugas Satpol PP yang mengusir pedagang kaki lima.

Ingusku merembes turun, jatuh ke sela-sela bibirku. Aku menarik napas panjang, dan dengan sentakan terakhir, aku mendorong makhluk itu keluar. 
HUAAHH...

Rasa lega membanjir di dadaku. Di hadapanku, ibu sedang bergulat dengan makhluk tersebut. Gayanya seperti Triple H yang bersiap melancarkan jurus pedigree. Kamu tidak tau siapa itu Triple H? Sayang sekali.

TAKK. PUKK. PUKK. CROT..

Kepala makhluk tersebut terbelah karena parang Ibu. Kurang puas, Ibu menyemprotnya dengan racun dan mencincang seluruh tubuhnya. Dia mengambil bensin dan korek api -kamu pasti tau ini keluar darimana- dan membakar tubuh makhluk tersebut. Wow. Aku tidak pernah melihat Ibu sebuas ini sebelumnya.
Siapa sangka seekor cacing gelang bisa mengeluarkan sisi terliar Ibu.

“Nah. Sudah selesai.” Ibu menyeka peluh di kening dan lehernya. “Semoga kamu tidak cacingan lagi. Lain kali, pakai sendal kemanapun kamu pergi. Jangan makan sembarangan. Tidak usah lagi berenang di parit depan rumah Haji Sanusi.

Aku hanya menggangguk mengiyakan. Buru-buru cebok, mengenakan sendal dan berlari ke arah rumah. Dari rumah, aku melihat ibu membersihkan bekas-bekas pertempuran tadi. Ibu menimbunnya dengan tanah, membereskan peralatan perang, lalu bersenandung dalam perjalanan ke rumah.

***
Setelah Ibu Zubaidah dan Ase masuk ke dalam rumah, tubuh cacing itu perlahan menggeliat kembali. Bergerak-gerak kesakitan karena bokongnya baru saja dicincang oleh seorang manusia. Lalu masuk ke dalam tanah, mempersiapkan rencana balas dendam.

-TAMAT

Setelah beberapa windu terlewati, akhirnya aku menulis cerpen lagi. Sebenarnya cerpen ini udah lama banget mendekam di folder “Draft”. Tapi, tidak kunjung dipublish. Aku juga udah lama banget gak bikin artikel lagi. Mulai merasakan nikmatnya menjadi blogger murtad. Bikin ketagihan ternyata.

Semoga aku bisa kembali bercerita di blog ini. Oh ya, cerpen ini terinspirasi dari kisahku ketika kecil. Aku pernah pup, dan yang keluar itu cacing. Menyeramkan banget. Aku sampe nangis-nangis ketika itu. Baru kali ini pup ku menjelma menjadi makhluk hidup.

Setelah terkenang akan kejadian tersebut, aku pun menuliskan cerpen ini. Kamu juga pernah pup dan yang keluar cacing? Yuk, ceritakan di kolom komentar. Segala kritik dan saran terhadap cerpen ini juga sangat ditunggu.

Sekian untuk kali ini.

Salam Asal



Lanjut Baca Terus >>>