“Gimana persiapannya untuk berkemah besok, Nak? Udah dikepak semua perlengkapannya?”
Ayah tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu. Hana yang tidak menyadari kehadiran Ayahnya, nyaris memekik karena kaget.
“Ih, Ayah. Ngagetin aja. Udah semua kok, Yah. Eh, belum ding. Patok kayu tendanya belum ada. Nanti deh Hana cari ke hutan dekat gunung itu.”
“Emang kamu berani sendirian?” Ayah tersenyum jahil. “Denger-denger disitu ada...”
“Aaaaa. Stop..stop... Gak denger..gak denger.. yee..yee..” Hana menutup kuping.
Ayah tergelak. Dia mengacak rambut anaknya pelan. “Mau Ayah temenin, gak?”
Hana memasang muka cemberut. “Gak deh. Hana bisa sendiri kok.”
“Ciee. Putri Ayah merajuk.”
“Biarin aja. Ayah sih usil.”
Ayah hanya tersenyum. Memencet hidung, lalu mengecup kening Hana pelan.
“Nanti kalau udah selesai mengepak, makan siang dulu, ya.”
Hana mengangguk dan melanjutkan mengepak barang.
***
Peluh mulai mengucur di pelipis Hana. Susah amat sih nyari patok kayu doang. Mana udah mau maghrib lagi, batinnya. Hana memutuskan untuk berjalan sedikit ke dalam hutan lagi. Kalau nggak dapat, Hana akan pulang. Tangannya sudah bentol-bentol digigit nyamuk.
Beberapa langkah berjalan, ada sebuah rumah kecil dari bambu. Seorang kakek terlihat sedang mengumpulkan kayu bakar, sementara si nenek sedang menyapu halaman. Di sini memang banyak warga yang tinggal di dalam hutan. Coba nanya, ah.
“Assalamualaikum, Kakek. Nenek.”
“Waalaikumsalam, Cu.”
“Hehe. Maaf mengganggu nih, Kek. Nama saya Hana. Mau nanya, kira-kira Kakek ada patok kayu yang udah gak dipake, gak?”
Kakek memandang Nenek. “Ada kok, Cu. Itu di samping rumah. Kamu ambil sendiri, ya.” Ada perasaan aneh ketika Hana melihat senyum kakek tersebut. Tapi dia menepisnya.
Hana berjalan menuju samping rumah Kakek. Sebuah patok kayu tersandar disitu. Dia segera mengambilnya. Tiba-tiba, sekelebat udara dingin menerpa wajahnya. Hana memegang tengkuknya. Merinding.
“Terima kasih ya, Kek. Nek.”
“Sama-sama, Cu. Kamu gak mau masuk dulu? Minum teh manis,” ajak si Nenek.
Hana melirik jam dengan gelisah.
“Engg... makasih, Nek. Mungkin lain kali. Makasih patok kayunya, Nek.
Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Mereka menjawab berbarengan.
Hana segera memacu langkah untuk pulang.
***
“Ayah!! Bunda!!”
Hana mengerang lirih. Untunglah kamarnya dengan ruang tamu tidak terlalu jauh. Bunda tergopoh-gopoh menghampiri Hana.
“Kenapa kamu, Nak.” Bunda menyentuh dahi Hana. “Astagfirullah. Demammu tinggi sekali.” Bunda berlari ke luar kamar dengan panik. “Ayah! Ayah! Nyalakan mobil. Hana demam tinggi.”
Ayah tanpa banyak tanya langsung menstarter mobil, dan membopong Hana ke dalam mobil. Mobil segera melaju ke rumah sakit terdekat.
***
Hana cuma berada sehari di rumah sakit. Besoknya, demamnya sudah hilang. Ayah dan Bunda menjabat tangan dokter dengan perasaan senang. Mereka pun pulang ke rumah.
Namun, di rumah kelakuannya mulai aneh. Hana selalu marah-marah kalau ada orang yang lagi ngaji. Bahkan, dia pernah melabrak seorang ustadz yang membacakan ayat-ayat suci kepadanya. Bayangkan, seorang anak kecil yang dulunya manis, berubah drastis.
“Sepertinya anak ibu telah kemasukan jin penunggu hutan,” ujar ustadz tersebut.
Makanan Hana sekarang berupa telur mentah. Kadang diselingi dengan kopi dan rokok. Ayah dan Bunda semakin frustrasi. Tiap malam mereka bersujud kepada Allah. Meminta agar anaknya kembali normal. Sujud yang bercampur isak tangis.
***
“Ayah....Ayah... Hana tidak ada di kamarnya.” Ibu menjerit histeris. “Ayah!!!”
Ayah yang mendengar jeritan Bunda langsung berlari ke kamar Hana. Mengecek keadaan. Mengacak-acak lemari. Memeriksa kolong tempat tidur. Nihil. Ayah segera mencari ke luar dibantu oleh tetangga sekitar.
Jam 9 malam mereka kembali. Menyerah. Hana tidak ada dimana-mana.
Ayah terduduk lesu di bawah pohon mangga di halaman rumah. “Dimana kamu, Nak?”
Ayah mengerjapkan mata. Berusaha menahan tangis. “Ya Allah. Beri petunjuk-Mu.”
Ayah menengadah ke atas.
“Astagfirullah. Hanaaa. Ya Allah. Hana. Sedang apa kamu di atas situ, Nak.”
Hana duduk di batang pohon mangga tersebut sambil menyisiri rambutnya. Tembang sinden jawa mengalun dari bibir mungilnya.
Dibantu warga, Hana pun dibawa kembali ke dalam rumah. Wajahnya pucat pasi. Tak ada ekspresi. Dia hanya terus menyisir rambutnya. Ayah menenangkan Bunda yang menangis tanpa henti. “Cobaan apa yang sedang Kau beri, ya Allah,” Bunda memukul-mukul tembok. Membuat ngilu hati siapa saja yang melihatnya.
***
Esoknya, 10 orang kyai duduk mengelilingi Hana. Bunda menggenggam erat tangan Ayah. Ayah tersenyum menguatkan.
Para kyai mulai membacakan Al Quran dari segala macam surat. Hana bergeming. Dia malah tersenyum mengejek. Seorang kyai membuka percakapan.
“Assalamualaikum”
“Hihihi. Waalaikumsalam, Pak Kyai. Sudah lama tidak ketemu.” Nada suaranya berubah menjadi seorang wanita tua.
“Siapa kamu? Mau apa kesini?
“Aku suka anak ini. Mau gimana pun kalian ngusir aku. Anak ini gak akan balik lagi. Anak ini sudah tiada.”
Ayah dan Bunda bagai disambar petir. “Hana.... Hana....Ini Bunda, Nak.” Bunda menangis meraung-raung. “Astagfirullah. Kembali sama Bunda, sayang.”
Pak kyai menghela napas panjang. Dia meminta ayah untuk membujuk agar jin ini keluar. Ayah memandang Bunda. Lama sekali. Dia mengusap air mata di wajah istrinya. “Doain Ayah, Bun.”
Ayah beringsut menuju tempat Hana sedang duduk. Hana memandang Ayah sambil cekikikan. Menyeramkan. Dia kembali mendendangkan sinden jawa.
“Neng. Ini Ayah. Sudah atuh jangan kaya gini terus. Ayah cape. Ayah kerja gak tenang. Banyak kerjaan belum beres harus Ayah bawa pulang. Di tempat kerja, Ayah teringat terus sama Neng. Kata Neng kalau ulang tahun ke-11 pengen diadain syukuran disini,kan.” Ayah menyeka air mata yang mengalir di wajahnya.
“Eneng mah sekarang sombong sama Ayah. Gak mau ngobrol lagi sama Ayah. Biasanya tiap berangkat sekolah pasti nyium pipi ayah. Di rumah sepi gak ada Neng. Walaupun badannya ada, tapi Ayah juga ngerasain kalau di rumah teh tanpa Neng. Neng teh kemana atuh Neng? Kemana?” Bahu Ayah terguncang-guncang.
Alunan tembang jawa mulai melemah. Hana menatap Ayah dengan tajam. “Percuma saja kau mencoba. Hihihi.”
“Ayah kangen pisan pengen dicium lagi sama Neng kaya waktu itu. Tiap Adzan, kalau Neng nangis, hati Ayah teh sakit Neng. Kalau emang Neng mau pergi, datang aja bentar kesini. Ayah pengen denger suara Neng buat yang terakhir.” Ayah menggengam tangan Hana. Lalu memeluknya sambil terisak-isak. “Sebentar saja, Neng.”
“Arrggghhhhhhhh.............” Hana tiba-tiba menjerit keras sekali. Badannya kejang-kejang. Tak lama, dia pingsan. Para kyai mulai mengaji kembali. Sekitar setengah jam, Hana pun siuman. Dia diberikan air doa terus dibopong ke kamar. Semua warga disitu tidak berhenti mengucap Alhamdullilah. Ayah dan Bunda sujud syukur.
“Terimakasih Gusti Allah. Terimakasih telah mengabulkan doa kami.”
Patok kayu yang diduga menjadi tempat persembunyian jin tersebut, dibawa pulang oleh para kyai. Mereka akan menyimpannya di tempat yang aman.
Ayah memeluk Hana dengan erat. "Ayah senang kamu kembali, Neng."
Seulas senyum menghiasi wajah Hana. Bibirnya lalu mengerucut. Bersiul.
Sebuah alunan nada tembang jawa mengalun pelan.
Tamat.
Cerita ini dibuat dalam rangka #memfiksikan. Kali ini temanya horor. Kisah di atas adalah kisah nyata yang dialami oleh salah seorang temanku di Line. Tentu saja aku sudah minta izin untuk meminjam kisahnya, dan melakukan perubahan sesuai gayaku.
Semoga cerita ini tetap dapat dikategorikan sebagai horor. Meskipun feel seramnya gak terlalu dapet kayaknya. Hahahaha.
Tenang saja. Ending di kehidupan nyatanya bahagia kok. Gak kayak di atas.
Gimana tanggapan kalian terhadap kisah di atas? Komentar dong. Kalau ada yang pernah ngalamin kisah horor juga, yuk ceritain ke kita.
Salam Asal.