Sekitar empat hari setelah sampai di Nias, ada
kejadian menggemparkan di malam hari. Semua orang berbondong-bondong
melihatnya. Ya, aku juga ikutan dong. Aku nyusul mereka dari belakang. Setelah beratus-ratus
meter, ternyata tujuannya adalah pelabuhan.
Aelah. Kirain tempat apaan. Apa sih istimewanya
pelabuhan? Cuma sekumpulan kapal yang berlabuh. Bukan jodoh juga yang berlabuh.
Iseng-iseng nanya, ternyata ada kapal besar yang akan berlabuh. Yahhh...
padahal sih aku berharap ada Katara yang lagi nunjukin pengendalian airnya.
Kotaku ini benar-benar kekurangan hiburan deh
kayaknya. Jadi kedatangan kapal besar aja, bisa memancing ratusan orang datang
ke pelabuhan. Disini emang gak ada warung-warung ber-AC sebangsa Ind*maret atau
Alf*mart. Adasih minimarket, tapi bukan waralaba. Beda dengan Medan, dimana
tiap 100 meter ada Ind*maret. Disini lebih banyak warung tradisional.
Yah, karena udah terlanjur disini, aku
berjalan-jalan sejenak. Pelabuhan ini beneran rame banget. Hampir penuh. Mulai dari
tukang becak, pedagang asongan (btw, mereka dagangnya di atas gerobak pasir. Anti-mainstream),
calon penumpang, polisi, sampai ke orang iseng kurang kerjaan kayak aku.
Di suatu sudut pelabuhan, ada sebuah keluarga. Sang
Ayah jongkok sambil nyuapin anak dan istrinya. Makanan mereka cuma sebungkus
nasi dan sebotol air mineral. Agak nyess melihatnya. Benar-benar wujud harafiah
dari “mencari sesuap nasi”. Tapi mereka senang-senang aja. Senyum tetap terukir
di wajah mereka.
Aku berjalan beberapa langkah. Sekelompok anak
perempuan sedang asyik bermain di atas batu yang lumayan besar. Mereka bertingkah
layaknya petinju pro, kaki sibuk menari-nari untuk menjaga keseimbangan. Dan sekali
lagi, dengan permainan sederhana seperti itu, tawa riang terdengar. Aku bahkan
udah lupa cara bermain imajinasi seperti itu. Semakin dewasa malah semakin
rasional dan menolak berpikir imajinatif.
Tidak jauh dari situ, ada sebuah keluarga dengan dua
orang anaknya yang masih kecil. Dengan pipi tembam menggemaskan. Si kakak
tiba-tiba berdiri, menyambar botol mineral dari tangan ayahnya. Dia lalu
berlagak layaknya David Beckham. Bersiap-siap menendang sebotol mineral. Dia berlari
kecil dengan gayanya yang lucu, mengambil ancang-ancang...dan menendang botol
aqua sekuat tenaga dan.... sandalnya terlepas. Melayang. Nyaris masuk ke dalam
laut. Dia lalu jatuh terduduk.
Si Adik melihat itu, langsung tertawa
terbahak-bahak. Khas tawa anak kecil. Diikuti dengan kedua orangtuanya. Mereka tertawa
begitu lepas. Kakaknya yang awalnya kebingungan, ikut tertawa juga sambil
bergelayut di pundak ayahnya. Menyembunyikan rasa malu.
Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar tawa
selepas itu. Tawa yang dulu hanya kusaksikan di TV, sebagai gambaran keluarga
ideal. Siapa sangka aku kembali menyaksikannya di tempat seperti ini. Di pelabuhan.
Bahagia memang betul-betul sederhana.
TUUUTTT. Terdengar peluit nyaring. Ah, itu dia si
kapal besar. Dia sudah hampir berlabuh. Ratusan orang melambai dari kapal. Mengingatkanku
akan film Titanic. Aku bergegas mendekat. Siapa tau bisa berjumpa dengan Jack
dan Rose. Hehe.