BRUKK.
Kuhempaskan koperku ke ubin. Hidungku menghisap
oksigen dengan ganas. Uaahhh, capek sekali rasanya. Aku baru saja pindah ke
kos-kosan ini. Dari dulu aku paling tidak suka berpindah-pindah. Menyusun
barang-barang dalam dus, mengangkutnya ke tempat tinggal baru, membukanya dan
kembali menyusunnya. Memikirkannya saja sudah membuatku lelah.
Tapi aku terpaksa pindah ke tempat ini. Di kosanku
yang lama, semakin sesak saja. Ditambah mereka yang berpacaran, seenak upilnya
keluar masuk. Membuatku jengah. Dan membuat iri tentu saja.
Kupandangi keadaan kamar kosku yang baru. Masih
banyak debu menempel disana sini. Jaring laba-laba menempel di sudut
langit-langit. Uhh, besok aku harus membersihkannya. Dindingnya dipenuhi
coretan-coretan aneh. Pemilik sebelumnya pasti bercita rasa seni tinggi.
Kurebahkan badanku di kasur. Hidungku
mengendus-endus bau tak sedap dari bantal. Selain berseni tinggi, pemilik
sebelumnya juga sangat jorok. Tapi ya sudahlah, aku terlalu capek untuk
memikirkan ini semua. Mataku semakin berat, langit-langit kamar terasa berputar,
dan detik berikutnya aku sudah melayang ke pulau kapuk bersama Maudy Ayunda.
***
Hmfff....Hmfff......
Sesuatu
terasa menggelitik hidungku. Kukerjap-kerjapkan mataku. Kesadaranku masih belum
utuh. Bayangan samar menari-nari di pelupuk mataku. Lama-kelamaan bayangan itu
mulai nampak jelas.Bayangan seorang....
“Selamat pagi, Tetangga. Wah, ternyata dirimu capek
sekali ya. Kau sudah tertidur sekitar 12 jam 5 menit 30 detik. Kau pindahan
darimana? Kok pindah kesini? Oh ya, kenalin namaku Dira, aku penghuni kos
sebelah.” Seorang wanita yang tidak kukenal mengoceh panjang lebar.
Kepalaku masih berdentam-dentam. Siapa cewek ini?
Kenapa dia bisa ada disini? Dan Kenapa
dia cerewet sekali.
“Ah kau pasti masih capek. Mau kubuatkan teh manis,
kopi, cappucino, jus?” tawarnya.
Selain cerewet ternyata dia juga pelayan.
“Tidak usah. Aku tidak lapar. Eh,haus.” Nyawaku
belum terkumpul semua.
“Ngomong-ngomong, kenapa kau ada disini?” Kulirik pintu kamarku, masih terkunci rapat. Aku memikirkan kemungkinan terburuk. Apakah dia
pemerkosa?
“Emm. Sebelum kujawab, mungkin kau ingin membetulkan
letak celanamu. Sesuatu tampaknya menonjol dari situ.”
Aku menatap celanaku. “dia” menyapaku dari balik
celana. Holy shit. Fuck men,fuck. Umpatku.
Aku menarik selimut dan membungkus badanku rapat.
Aliran darah terasa memenuhi wajahku. Hangat. Dira tertawa keras. Rasanya kalau
ada telor diceplok ke wajahku sekarang, pasti langsung matang saking panasnya
wajahku.
“Santai aja lagi. Gak usah malu-malu gitu.” Dira
susah payah menahan tawa. Dan aku susah payah menahan malu.
“Eh, kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau
bisa ada di kamarku!?” bentakku.
Wajahnya sedikit memucat. Mungkin dia kaget dibentak
seperti itu. Tapi dengan cepat dia menguasai keadaan.
“Sini, aku tunjukkan satu keajaiban.” Dia beringsut
menuju pojok kamarku. Aku hanya menatapnya. Enggan mengikuti geraknya.
Dia meraba-raba sisi dinding. “Bersiap-siaplah untuk
melihat keajaiban.” Seulas senyum nakal dia lempar ke arahku. Tangannya menekan
dinding. Dan luar biasa, dindingnya berputar secara vertikal, memperlihatkan
sisi lain dari kamar. Ini seperti film- film yang sering kutonton. Rumah-rumah
yang dilengkapi dengan dinding rahasia. Untuk memudahkan tokoh utama kabur
ketika dia dalam keadaan terjepit.
Rasa ingin tahuku menggelegak. Kulempar selimut dan
bergegas menghampiri dinding tersebut. Kulongokkan kepalaku kedalam dinding
tersebut.
TOKK.
“Aduh. Apa-apaan sih. Main ketok aja. Kalau mau
ketok, tuh sana kerja di ketok magic, jangan kepalaku yang diketok.” Aku
meringis kesakitan. Kampret juga nih cewek lama-lama.
“Makanya jangan sembarangan, ngintip-ngintip kamar
orang lain. Itu kan kamar cewek, cowok gak boleh lihat.”
“Lah. Terus kau, masuk ke kamar cowok, gangguin
orang tidur. Itu apa namanya? Kalau kau bisa , kenapa aku gak.” Disaat inilah
emansipasi cowok harus ditegakkan.
“Hahaha. Ya jelas dong. Cowok kan selalu salah.” Dia
menutup dinding rahasia itu lagi. “Pokoknya hanya aku yang bisa menggunakan
dinding ini. Kau tidak boleh.”
Huh. Dasar cewek aneh. Aku menghampiri kasurku.
Ingin melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Duh, Maudy Ayunda pasti
kesal kutinggal sendirian di pulau kapuk.
“Eh,eh. Kau mau ngapain? Temenin aku ngobrol dulu
lah. Minimal kita kenalan dulu.”
Aku meraih guling. Mengambil posisi tidur
membelakangi Dira, “Bodo amat.”
“Yah, parah amat sih. Jarang-jarang kan bisa kenalan
sama cewek secantik aku.” Dia mendekat ke arahku. Mencolek-colek pinggangku.
“BODOOOO!!!!”
***
Aku tersadar sekitar 8 jam kemudian. Mataku
mengerjap-ngerjap. Berusaha menggali ingatan, sedang dimanakah aku sekarang?
Potongan berbagai kejadian berkelebat di kepalaku.
Gambar tentang aku yang baru pindah kos, tentang cewek aneh, dan tentang
dinding rahasia. Kupalingkan kepalaku ke arah dinding rahasia tersebut. Tampak
biasa saja.
Aku beringsut mendekatinya. Berlagak detektif,
kuketok-ketok dinding tersebut, memastikan ruang disebelahnya kosong. Suara
yang terdengar padat, tidak nyaring. Aku menggaruk kepalaku, apa itu semua
mimpi ya?
Kudorong dinding itu sekuat tenaga. Tapi dia
bergeming.
Perutku mulai keroncongan. Lebih baik aku makan
dulu, baru kupikirkan masalah ini. Di depan kosan, seorang tukang bubur sibuk
menjajakan dagangannya. Aku memesan seporsi bubur ayam dan teh manis hangat.
“Pendatang baru ya?” tanya seorang cowok kepadaku.
Aku mengangguk. “Baru datang kemarin. Tinggal disini
juga?” tanyaku.
“Iya. Aku tinggal di kamar nomor 14.
Ngomong-ngomong, namaku Panji.” Dia mengulurkan tangan.
“Ryan.” Aku menyambut uluran tangannya. “Aku tinggal
di kamar nomor 12.”
Dia hanya mengangguk, kemudian meneruskan makan.
Pesananku datang. Masih mengepul, menguarkan aroma
yang menggelitik hidung. Air liurku terbit. Aku makan perlahan, sambil meniup
setiap suapan.
“Eh. Kau tau cewek penghuni kamar disebelah
kamarku?” Aku berusaha mencari informasi mengenai cewek aneh kemarin.
Panji menoleh. Dahinya berkerut. “Cewek yang mana?
Kayaknya yang tinggal disini cowok semua deh.”
“Itu tuh cewek yang tinggal di kamar nomor 13.
Kemarin dia malah main ke kamarku. Pake dinding rahasia gitu.” Aku tertawa,
sambil tetap menyuap bubur ayam. Hmm, enak juga. Harus berlangganan nih.
Panji meletakkan sendoknya. “Bukan Dira kan maksudmu?”
Dia menatapku tajam.
“Nah itu.” Aku menyesap teh ku. “Dira. Kau kenal
juga rupanya.”
Kebisuan tiba-tiba menyerang. Bahkan burung seperti
malu bersiul. Aku melirik Panji sekilas.
Wajahnya mendadak seperti tanpa darah. Pucat pasi.
Bibirnya bergetar. “T-tidak mungkin. Kau pasti bercanda, kan?”
Aku mengernyitkan dahi. Buat apa juga aku bercanda?
“Nggak kok. Serius, dia kemarin main ke dalam kamarku. Aku udah takut bakal
diperkosa.Hahaha.” Tawaku berderai.
Panji menunduk. “ Dia sudah meninggal tiga bulan
yang lalu. Bunuh diri di kamar
tersebut.”
Tawaku menggantung di awang-awang. Berganti dengan
rasa ngeri yang menjalar di tulang punggungku. Bulu kudukku perlahan meremang.
“J-jadi dia sudah...” Aku mengusap wajah. “Lalu
siapa yang datang ke kamarku itu?” Ototku lemas. Bubur ini mulai terlihat tidak
enak lagi.
Panji mengedikkan bahu. “Mungkin dia ingin
menyapamu. Atau ingin membawamu.” Panji
tersenyum ganjil.
Aku menatap Panji. Bukan, lebih tepatnya aku menatap
sesuatu di belakangnya. Seseorang yang berpakaian putih dengan wajah sepucat
salju, dan lelehan darah kering mengalir di mulutnya. Dengan bola mata yang
menjuntai keluar.
Aku tercekat. Tak bisa berkata apa-apa. Segenap bulu
di tubuhku meremang sempurna.
DIRA !!
Nah, gimana cerpennya. Bagus gak? Gua masih belum cukup bisa mengolah cerita horor. jadi sangat mohon saran dan kritik lo semua. silakan di share di kotak komentar semua saran dan kritik lo. terimakasih