Jarum jam masih bergerak lesu. Enggan berpindah dari
satu detik ke detik yang lain. Jam ini kami temukan di pembuangan sampah.
Syukurlah kondisinya masih layak pakai. Lumayan sebagai pengingat waktu bagi
kami.
Adikku masih tertidur sambil memegangi perutnya. Aku
mengusap pipinya yang dekil. Dia nampak damai sekali ketika tertidur. Tiba-tiba
dia terbangun, mengerjap berkali-kali, lalu menatap bola mataku. “Kak. Nanti
kita buka puasa dengan apa?”
Kusungging sebuah senyum menenangkan, “Nanti Kakak
cari. Sekarang kamu tidur aja dulu. Buka puasa masih 2 jam lagi.”
Matanya berbinar, dia bangkit dan memelukku, “Aku
sayang Kakak.”
Tidak biasanya dia bertingkah begini. Aku balas memeluknya sambil mengusap puncak
kepalanya, “Kakak juga sayang kamu.” Sebutir air mata menggenang di wajahku.
Adikku pun tertidur lagi dalam pelukanku.
***
Deru kendaraan bercampur dengan suara klakson.
Bising dan memekakkan telinga. Aku menoleh ke kiri dan kanan, memastikan
jalanan aman untuk menyeberang. Kosong.
Aku berlari secepatnya menuju seberang jalan.
Sorot lampu mobil tiba-tiba muncul dari tikungan..
TINNNNN.
Rem berdecit. Aku terjatuh ke pinggir jalan karena
kaget. Ban mobil yang besar itu nyaris menjadikanku adonan kue.
“Woi, kalau jalan liat-liat lah. Emang ini jalan
punya moyangmu?” Seorang lelaki bertubuh besar berteriak sambil mengacungkan
jarinya kepadaku
“Sabar, Mas. Ingat lagi puasa.” Seorang wanita
menepuk pundak pria itu perlahan.
“Cih. Dasar gembel.” Dia meludah.
Mobil itu kembali melaju. Meninggalkanku yang masih
terduduk lemas. Jantungku berdegup kencang. Apa jadinya kalau aku sampai
tertabrak. Aku mengurut dada perlahan, aku sudah biasa diperlakukan begini. Itu
bukanlah masalah besar. Kutahan air mata yang ingin meloncat keluar. Kugantikan
dengan senyum. Adikku menunggu makanan
ini.
***
Adzan Maghrib telah terdengar. Ditingkahi suara
bedug. Aku mengucap syukur.
“Dek. Bangun. Ini kakak bawakan makanan.”
Adikku menggeliat dari tidurnya. Dia tidur sangat
nyenyak. Hidungnya mengendus-endus.
“Sudah boleh berbuka ya, Kak?”
Aku mengangguk.
Dia segera membuka bungkus makanan yang kubawa.
“Berdoa dulu, Dek.”
Dia menengadahkan tangan dan berdoa. Aku hanya
tersenyum melihat tingkahnya. Dialah satu-satunya penghiburku. Hiburan dari
segala kemiskinan yang kami alami. Penyemangatku ketika aku merasa frustasi. Dia bahkan mengizinkan aku menangis di pundaknya, ketika aku teringat akan kematian orang tua kami, 5 tahun silam.
“Makanannya enak banget, Kak. Pasti ini makanan
mahal ya? Kakak mendapat pekerjaan hari ini?”
Aku hanya mengangguk sambil ikut makan. Adikku makan
dengan lahap. Ya Allah, semoga Engkau tak
berkeberatan dengan makanan kami.
“Sudah, Dek. Kita sholat dulu. Nanti kalau masih
lapar, kamu boleh lanjut makan.”
Dia mengangguk dengan enggan. Tapi toh, dia
mengikutiku juga.
***
Aku menyusuri setiap jalanan. Memasuki setiap gang.
Melongok ke dalam tong sampah, berharap ada secuil makanan. Aku memandangi
seekor kucing yang diberi makan nasi beserta lauk pauk yang lengkap oleh
seorang wanita paruh baya.
Bahkan kehidupan kucing lebih baik dari kami.
“Heh. Ngapain lihat-lihat. Pergi sana,” usirya kasar. Dia berteriak sambil mengacungkan sapu
ijuk. Tanpa diperlakukan seperti itu pun, aku akan pergi.
Aku berlalu dari tempat itu. Menuju sebuah rumah
makan. Aku berbelok menuju pintu belakang, tempat mereka biasa membuang sisa
makanan.
Seorang pria keluar dari pintu. Membawa sebuah
nampan, dimana lauk pauk masih banyak terhidang. Mungkin pembelinya memesan
terlalu banyak. Atau mereka hanya membeli untuk menghamburkan uang. Entahlah.
Aku tidak bisa mengerti jalan pikiran orang kaya.
Pria itu membuka tutup tong sampah.
“Pak. Bolehkah sisa makanan itu untukku? Kami tidak
memiliki uang untuk membeli makanan buka puasa, Pak,” pintaku sambil memegangi
kakinya.
Dia mengamatiku baik-baik sambil menutup hidung.
“Heh. Gembel. Kalau mau dapat makan itu ya berusaha.
Jangan cuma meminta-minta. Tunjukkan sedikit usahamu.”
Dia lalu membuang seluruh makanan di nampan itu ke
dalam tong sampah. “HAHAHAHAHA. Dasar pengemis.”
Dia kembali ke dalam rumah makan tersebut sambil
tertawa keras. Bahunya berguncang-guncang.
Aku menatap tong sampah itu. Membuka tutupnya. Aroma
tak sedap langsung menyerbu hidungku. Kupungut sebuah plastik dan selembar daun
pisang, lalu memasukkan makanan itu ke dalamnya. Mengapa mereka bahkan tidak bisa memberi kami sampah yang lebih yang layak?
Tidak
apa. Aku bisa membersihkan makanan ini nanti. Adikku pasti girang. Ya Allah,
salahkah perbuatanku ini?
T A M A T
T A M A T
Semoga pesan moral cerita ini dapat tersampaikan. Segala kritik dan saran sangat gua butuhkan :)
Keren. Tapi ada yang miss. Umur tokoh aku berapa dan si adiknya juga berapa? Kok sebegitu sengsaranya.... kemana bapak ibunya? Jadi simpatinya nanggung.
ReplyDeleteceritanya sih mereka hidup berdua aja. gak ada orangtua. udah meninggal. oke aku edit deh ya.
Deletekok bisa simpati nanggung kalau orang tua gak ada?
bagus cerpennya, ada pelajaran yang bisa didapet.
ReplyDeleteagak ngeri juga sih ngebayangin adeknya makan makanan dari tong sampah
hooh. bersyukurlah yang bisa berbuka puasa dengan nikmat
DeleteBagus, Mas, bagus sekali. haru bacanya, betaba besarnya kasih sayang sang kakak, di tengah keterbatasan yang mereka miliki.
ReplyDeleteyah. semoga ini mengajarkan kita untuk lebih peduli :)
Deletekeren..dua jempol buat penulis
ReplyDeletemakasih sob :)
Deletesedih banget cerpennya...
ReplyDeleteserius? wahh
DeleteCerpen nya kok......... :'>
ReplyDeletekokkk....ka kola?
DeleteWih bagusss ceritanya. Kalo bayangin penderitaannya itu rasanya ... :')
ReplyDeleterasa nano nano?
DeleteTerharu banget, men. Keren, tapi ya gitu... kesian adeknya nanti kalo dikasih makanan itu.
ReplyDeleteyah, kecuali lo mau bantuin kasih makanan sih, men
Deletesaya berkunjung untuk yang pertama
ReplyDeletesalam kenal dan happy blogging
heheh
salam kenal juga sob
Deletewuuiiiiih.... keren banget cerpennya :") terharu gue.
ReplyDeleteini pada serius terharu semua ya? apa pencitraan?
Deleteterharu gue bacanya :') bagus banget man cerpennya, sarat makna..
ReplyDeletewah. kunjungan pertama lo kesini malah sedih sedih
Deletesebagai manusia yang lebih beruntung kita harus lebih banyak bersyukur dan jangan mengeluh :') pesannya tersampaikan kok, bang.
ReplyDeletebagus dan bermakna :')
wah. bagus deh kalau tersampaikan :)
DeleteKeren kamans! Terharu gw:")
ReplyDelete