Tuesday, January 6, 2015

[Cerpen] Cinta ragu-ragu

Sumber Gambar

Memang selalu begini keadaannya ketika guru tidak masuk kelas. Kertas-kertas kecil digulung, lalu dilemparkan ke kepala teman. Yang terkena akan mengumpat kecil, lalu membalas. Ada juga yang saling kejar-kejaran, meliuk-liuk di antara bangku. Bising. Teriakan dan sorakan menulikan telinga.

Tapi aku tidak menaruh perhatian pada semua itu. Aku sekarang sedang asyik menatap Deni, yang juga sedang asyik membaca buku. Jantungku kebat-kebit tak karuan. “Hampiri saja dia.” Hatiku berkata. “Jangan. Kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri. Kamu kan cewek.” Otakku berkata lain.

Aku gelisah. Dudukku menjadi tidak tenang. Bagai cacing kepanasan. Kutelungkupkan kepala di meja. Galau. “Sekarang atau tidak sama sekali.” Hatiku memberi semangat. Aku memantapkan langkah menuju meja Deni.

“Den, kamu bisa bantuin aku ngerjain soal fisika ini, gak? Bingung banget nih cara ngerjainnya.” Aku berusaha tersenyum. Mengendalikan degup jantung.
Deni mendongakkan kepalanya. Melihat buku fisika di tanganku, lalu menatapku tajam. Lututku mulai goyah. Tuhan bantu aku.

“Oh. Soal yang kemarin itu? Aku juga kurang ngerti tuh. Mungkin kamu bisa tanya Febri. Dia kan jago banget Fisika. Maaf ya.” Deni tersenyum tipis. Harapanku untuk bisa ngobrol berdua dengannya pupus sudah.

“Oh. Oke. Gapapa kok.” Aku melangkah cepat ke tempat dudukku. Menelungkupkan kepala di meja sambil mengutuki diri sendiri.

***

Aku membolak-balik buku “Sejuta cara untuk memperoleh pacar” tanpa semangat. Buku ini omong kosong. Semua sudah kupraktekkan, tapi tidak ada yang berhasil. Aku menoleh sekilas ke belakang. Tiga bangku dari tempatku. Vania. Cewek pujaan semua cowok di angkatanku. Dia juga cewek yang paling sulit ditaklukkan. Vania hari ini sangat cantik. Yaaa, dia memang selalu cantik sih. Sial, dia menoleh ke arahku. Aku gelagapan memalingkan pandangan.

Beranikanlah dirimu. Ajaklah dia ngobrol. Sampai kapan sih kamu mau jadi pengagum rahasia terus?” jerit hatiku kesal.

“Tapi aku takut. Dia pasti tidak tertarik untuk ngobrol denganku. Aku terlalu membosankan untuknya.”

Kau bahkan belum mencoba.”

“Karna aku tau sia-sia saja untuk mencoba.”

Pengecut.”

Aku hanya manyun. Dikalahkan oleh hati sendiri itu rasanya gak enak. Aku menoleh lagi ke belakang. Vania sedang menelungkupkan kepalanya di meja.
“Baiklah. Aku akan kesana dan ngobrol dengannya. Kalau gagal, kau harus tanggung jawab,” ancamku pada hati. Aku menarik napas panjang.

“Den, kamu bisa bantuin aku ngerjain soal fisika ini, gak? Bingung banget nih cara ngerjainnya.”

Aku tergagap. Vania tiba-tiba sudah berdiri dengan anggun di hadapanku. Vania meminta bantuanku? Mimpi apa aku semalam? Dan senyumnya itu. Astaga aku kehilangan kata-kata. Buyar.

“Oh. Soal yang kemarin itu? Aku juga kurang ngerti tuh. Mungkin kamu bisa tanya Febri. Dia kan jago banget Fisika. Maaf ya.”
Hah? Kenapa malah kalimat itu yang keluar? Soal  itu bahkan lebih mudah dari 1+1.
“Oh. Oke. Gapapa kok.” Vania tersenyum lalu melangkah pergi.

Aku hanya termangu menatap punggung gadis pujaanku. Aku telah menyia-nyiakan kesempatan. Arghhh tolol, rasanya aku ingin membenturkan kepala di tembok.

***

Sebentar lagi akan ada promnite. Aku beberapa kali mengatur skenario agar bisa berjumpa dengan Deni. Aku “tidak sengaja” berjumpa dengannya ketika pulang sekolah. Atau “tidak sengaja” berpapasan di kantin. Banyak “tidak sengaja” yang kuciptakan hanya untuk menanyakan tentang promnite.

“Den. Kamu nanti datang ke promnite gak?” tanyaku ketika “tidak sengaja” bertemu di kantin.
“Belum tau. Liat nanti deh. Kalau kamu?”
“Belum tau juga. Belum ada yang ngajak sih. Hehe.” Aku berusaha memberikan senyum paling manis.
“Haha. Nanti bakalan ada juga yang ngajak kok.”
“Hmm. Iyadeh.”

Aku ingin menjitak kepala Deni. Tidakkah dia tau arti dari kode tersebut? Apakah semua cowok sebodoh ini dalam menanggapi kode dari cewek? Ataukah dia memang tidak menaruh perhatian padaku? Apakah cintaku bertepuk sebelah tangan?

“Van. Kamu belum ada yang ngajak ya? Dengan aku aja ya perginya.”

Aldo tiba-tiba menyela. Sambil menaik-naikkan alisnya. Dih playboy kampungan. Aku menggigit bibir bawahku. Ragu. Ohh Deni, coba kamu yang mengajak dengan cara seperti ini. Pasti aku akan langsung mengiyakan. Dan seharusnya juga kau menyela permintaan Aldo dan berkata ‘Vania akan pergi denganku.’ Aku menatapnya penuh harap, namun dia hanya terseyum.

Aku menghela napas. “Baiklah, Aldo. Aku akan pergi denganmu.”
Aldo tersenyum lebar. “Dandan yang cantik ya. Nanti malam jam 7 aku jemput.” Aku hanya tersenyum masam.

***

Sebentar lagi akan ada promnite. Aku beberapa kali mengatur skenario agar bisa berjumpa dengan Vania. Aku “tidak sengaja” berjumpa dengannya ketika pulang sekolah. Atau “tidak sengaja” berpapasan di kantin. Banyak “tidak sengaja” yang kuciptakan hanya untuk menanyakan tentang promnite.

Seperti ketika “tidak sengaja” bertemu dengannya di kantin hari ini. Aku melangkahkan kaki pelan ke arahnya. Dia sedang menyeruput es jeruk kesukaannya. Kadang aku berangan-angan ingin menjadi sedotannya.

Aku baru akan membuka mulut, ketika....

“Den. Kamu nanti datang ke promnite gak?
Ditembak seperti itu, aku langsung terpaku. Ya Tuhan, ciptaanmu indah sekali. Lihatlah rambutnya yang digerai, ditiup angin dengan lembut. Bagai model iklan sampo. Bibirnya yang merah alami. Aroma parfumnya yang menggoda. Dan dia baru saja bertanya kepadaku tentang promnite. Aku akan menjawab dengan benar kali ini.

“Belum tau. Liat nanti deh. Kalau kamu?”

Sial. Kenapa bibirku nggak sinkron dengan otak? Atau emang otakku yang kacau? Argh. Aku mengacaukannya lagi kali ini. Otakku benar-benar blank jika berhadapan dengan dia.

“Belum tau juga. Belum ada yang ngajak sih. Hehe.”

Nah. Kesempatan datang lagi. Dia pasti lagi memberikan kode untukku. Kubujuk bibirku agar mau mengatakan ‘Kamu mau gak pergi denganku?’. Ya ampun, dia tersenyum manis sekali. Ayolah, apa susahnya mengatakan hal tersebut. ‘Kamu mau gak pergi denganku?’

“Haha. Nanti bakalan ada juga yang ngajak kok.”
Senyum itu benar-benar beracun. Aku tidak bisa berpikir jernih jika selalu disuguhi senyum seperti itu.

“Hmm. Iyadeh.”
Tubuhku lunglai. Hilang sudah kesempatanku. Bodoh..bodoh...bodoh..

“Van. Kamu belum ada yang ngajak ya? Dengan aku aja ya perginya.”
Aldo tiba-tiba menyela. Seandainya aku bisa sejantan itu meminta Vania untuk pergi denganku. Aku hanya menatap hampa ke arah mereka. Mereka pasti jadi pasangan yang serasi sekali. Lihatlah, Vania kelihatannya bahagia sekali diajak oleh si tampan satu ini. Dia tidak berhenti tersenyum.

“Baiklah, Aldo. Aku akan pergi denganmu.”

Aldo tersenyum lebar. “Dandan yang cantik ya. Nanti malam jam 7 aku jemput.”
Duniaku seakan mau runtuh.

***

Aku mematut diri di depan cermin. Aku tidak akan tampil maksimal hari ini. Seandainya saja Deni yang mengajak. Pasti aku akan habis-habisan. Si bodoh satu itu memang kelewatan. Dan sekarang aku malah pergi dengan Aldo, playboy cap kaki lima.

Ketika Aldo datang, aku harus bersusah payah mengalihkan pembicaraan agar orangtuaku tidak menggodaku terus.

“Akhirnya Vania laku juga. Kamu jaga dia baik-baik ya Nak Aldo. Jangan pulang terlalu malam.”
“Sip deh. Om. Serahkan saja sama saya.” Aldo merangkul pundakku. “Yuk... kita pergi. Mari Om..Tante.”
“Iya. Hati-hati di jalan ya.”

Coba Deni yang ngajak aku. Pasti akan kukenalkan dia dengan senang hati kepada Papa dan Mama. Tipeku bukan cecunguk seperti Aldo. Dia malah dengan seenaknya mengaku-ngaku sebagai pacarku.

Di promnite, kami malah dikerubungi. Dipuji-puji sebagai pasangan yang serasi. Aku hanya tersenyum. Malas membantah. Dan Aldo tak henti-hentinya merangkul pundakku. Sekali waktu dia malah mencoba mencium pipiku. Tasku dengan senang hati mendarat di bibirnya.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari Deni. Nah, itu dia disana. Sedang mengambil sirup. Apakah dia tidak bisa berdandan lebih rapi? Keadaannya benar-benar awut-awutan. Aku ingin menyapanya sebentar.

“Hey Van. Kirain kamu gak bakalan bisa ditaklukkin. Eh ternyata takluk juga sama Aldo.” Rini menyenggol lenganku. Aku mengabaikannya. Aku lebih asyik mencuri pandang ke arah Deni. Dia malah tidak melihat ke arahku sedikitpun. Dia sedang asik ngobrol dengan Rio.

“Do. Jangan sampai nyakitin Vania ya. Dia itu kembang sekolah kita. Kalau dia sampe nangis, ancur kau nanti,” canda Gino.

“Tenang aja bro. Dia bakalan kujaga hingga ke pelaminan. Iya kan, Van?”
Aku mengangguk pasrah. Semoga acara promnite ini cepat usai.

***

Aku mengacak-ngacak rambutku. Frustasi. Seharusnya malam ini adalah malam yang bahagia. Seharusnya malam ini aku berkenalan dengan orangtua Vania. Berkata bahwa aku akan menjaga anak mereka. Tapi, nyatanya aku malah berakhir disini.
Kuambil kemeja lecek di salah satu gantungan baju. Tak ada gunanya rapi dan tampil maksimal. Toh Vania tidak akan memperhatikan. Dia pasti sedang asyik bercanda dengan Aldo. Darahku mendidih memikirkan hal ini.

Di promnite, mereka bagaikan raja dan ratu pesta. Tampil tampan dan cantik. Menawan. Menyulut api cemburu di hatiku. Seandainya aku lebih berani, pasti aku yang menggandeng tangannya sekarang. Seandainya bibirku bisa diajak bekerja sama, pasti aku yang merangkul pundaknya dengan hangat.

Ribuan seandainya berputar-putar di benakku.Kuambil secangkir minuman. Berusaha mendinginkan hati.

“Eh.. Den. Lihat tuh Vania dan Aldo. Serasi banget ya. Gak nyangka, Vania bakal jatuh ke tangan Aldo yang terkenal playboy.” Rio mencolek lenganku.
“Iya.. aku juga gak nyangka. Tapi kayaknya sih Vania happy banget. Dia aja gak berhenti senyum daritadi.”
“Harusnya kau juga kayak gitu tuh. Bawa gandengan. Mau sampai kapan jomblo? Hahaha. Beraniin diri nembak cewek lah.”

Rio mengusik masalah hatiku yang paling dalam.
“Nanti aja deh urusan pacaran. Gak minat. Mau konsen belajar aja.” Aku cengengesan.
Rio hanya mengangkat bahu.

Musnah sudah harapanku untuk menjadi pacar Vania. Tampaknya rasa cinta ini memang harus kukubur dalam-dalam. Aku tidak pantas disampingnya. Aldo memang lebih layak. Cintaku benar-benar bertepuk sebelah tangan. Setidaknya aku masih bisa menikmati senyumnya, walau bukan untukku. 

Kutarik napas panjang. Kuharap promnite ini cepat usai

***

Brukk. Buku berjatuhan.
Deni membungkuk. Membantu mengumpulkan buku yang berceceran. Dia memang berjalan sambil melamun tadi.

“Maaf ya. Aku yang salah. Gak lihat-lihat tadi.”
“Iya gapapa kok. Aku juga salah,” kata perempuan tersebut sambil memunguti buku.
“Eh, ternyata kamu, Den. Kirain siapa. Hai. “Vania tersenyum manis.”
Deni salah tingkah. Dia terbatuk-batuk kecil.

“Eh hai Van. Mau kemana nih?” Deni sebenarnya tau Vania selalu membaca buku di kantin ketika istirahat. Vania juga selalu tau kalau Deni mau ke perpustakaan ketika istirahat.
“Perpustakaan. Kamu?
Sama. “Mau ke kantin nih. Laper.”
“Okedeh. Daahh.”

Deni melambai. Kesempatan itu hilang lagi.

TAMAT


Nah. Pesan moral dari cerpen ini adalah, beranilah mengungkapkan cinta. Karena kamu tidak tau sedekat apakah jodohmu. Mungkin saja hanya sedekat tarikan napas. Oh ya, cerpen ini terinspirasi dari buku kumpulan cerpen Tere Liye yang berjudul “Berjuta Rasanya.”

Kritik dan saran untuk cerpen ini sangat diharapkan. Kalau kamu pernah mengalami kisah seperti ini juga, yuk share di kotak komentar. Akhir kata, aku cuma mau bilang... when you love someone, just be brave to say.

Salam Asal





35 comments:

  1. Jadi cewe agresif itu gak salah kok asal "pandai2" jangan malu2 ntar keburu diembat orang lain baru nyesel loh hahaha

    ReplyDelete
  2. Keren kak cerpennya, nggak sia-sia bacanya :)

    ReplyDelete
  3. Sumpaaaah , keren bgt kaka ^^ HAHA ~

    ReplyDelete
  4. ntah kenapa gue jadi pingin ngejitak vania dan deni! hahaha
    tapi keren bisa nyeritain dari berbagai sudut pandang :')

    ReplyDelete
  5. Oke.. darisini kita juga bisa tau kalo cowok emg jarang bgt ada yg peka
    Hahah
    Ini nih yg nyebelin yg diharepin siapa yg datang siapa.. gak sesuai keinginan.. sabar deh jd vania yg selalu meluncurkan kode tp tak kunjung dimengerti ama deni..

    Ini bagus ceritanya.. apa ini yg ngebuat pernah ngerasain??

    ReplyDelete
    Replies
    1. gua pribadi sih udah sering bgt ngerasain. haha

      Delete
  6. wah nggak boleh ragu tuh kalo sudah cinta

    ReplyDelete
  7. Ya ya ya aku pernah sepertinya mengalami hal itu *lambat mengungkapkan perasaan ke gebetan* #curhat

    ReplyDelete
  8. Keren bro cerpennya. Bisa bercerita dari 2 sisi yg berbeda.

    Iya sih, kayaknya 'kurang peka' masih menjadi masalah utama percintaan muda-mudi Indonesia, haha.

    ReplyDelete
  9. buset bisa bolak balik gini, keren keren. kapan2 gw coba bikin deh

    ReplyDelete
  10. Kurang greget bermain di konflik. Tersu kisahnya lebih ke era berapa gitu. Ambil kisah zama sekarang aja tapi tetap dalam alur dan cerita yang positif. Terus penggunaan tanda baa juga perlu diperhatikan. Dialognya da yg italic ada yang biasa. Perlu dikoreksi lagi ya, man.

    Gak usah patah semangat menulis dengan penuh kritikan itu buat kita lebih paham dan semangat ta. Sukses ya

    ReplyDelete
  11. Tulisannya bagus nih, kayak novel yang pernah aku baca.. aku lupa judulnya, novel yang mana menuliskan alur ceritanya dari dua sisi pelaku dan dua sudut pandang yang berbeda. Dan ini tulisannya seperti itu, tulisan lewat sisi deni dan sisi vania. Bagus loh...

    ReplyDelete
  12. Aku nggak lihat klimaks nya , tapi seru. Aku selalu ingin membuat cerita dengan dua sudut pandang berbeda.

    ReplyDelete
  13. Cara penulisannya kayak Djenar di salah satu cerpennya di kumcer, nih. EYD-nya kalau dirapiin lagi bisa jauh lebih oke, nih. Bahasanya juga masih nyampur. SemangART! :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. djenar itu siapa? eyd yang salah apa nih? bahasa yang nyampur yang mana :(. kasitau dong

      Delete
  14. kayak di marmut merah jambu : orang yang jatuh cinta diam-diam, hanyak bisa mencintai sendirian :)

    ReplyDelete
  15. ragu2 itu terkadang memang gak enak sering terjadi penyesalan yang sia-sia ya kan bang hehehe

    ReplyDelete
  16. Sudut pandangnya yang bergantian antara Deni dan Vania sebenernya asik sih, jadi bisa tau pikiran dan perasaan kedua belah pihak, tapi alurnya jadi terkesan melambat. Dan mungkin, karena sudah sering membaca cerpen kak arman, aku jadi berharap ada twist di endingnya, haha, tapi ga ada jadi yaudah. Tetep keren kok kak ;)

    ReplyDelete
  17. keren nih cerita bolak baliknya, di awal lumayan bikin penasaran =)

    ReplyDelete
  18. Karena menggunakan 2 sudut pandang yang dilakukan bergantian, ceritanya jadi lambat. Kesan lambat terasa karena di pergantian sudut pandang pertama, pembaca udah tau isi otak kedua tokoh, sehingga saat memasuki konflik baru, pembaca udah bisa nebak isi kepala tokoh yang lainnya.

    Mendingan kalo mau make dua sudut pandang, gak usah berulang. Sekali aja. yang laki dulu atau yang cewe dulu.

    Permasalahannya nggak selesai sih, karena penuturan perasaan di tiap konflik selalu jelas. jadi kalo mau make teknik yang gak ngulang bergantian, pengakuan perasaan tokoh pertama yang diceritakan jangan sampai terlalu jelas, harus samar namun tetap bisa dijadikan twist di cerita sudut pandang tokoh kedua.

    atau bisajugadi tiap konflik, tokohnya berbeda. jadi seperti kumpulan orang yang ragu-ragu, trus di akhir cerita semua orang tersebut saling curhat, entah pas udah akan menikah mungkin.

    gitu aja sih menurutku.

    masalah tanda baca, biar yang lebih paham yang mengoreksi.

    Di luar itu, gaya berceritanya asik. Mantep.

    ReplyDelete
  19. gregetan sama vania dan deni,sama-sama suka tapi kalah dengan rasa malu dan ragu,, :)

    ReplyDelete
  20. Waduh, kayaknya gue harus belajar sama Bang Arman soal cerpen nih. Bagus Bang, Kerenlah! Tapi, ada beberapa titik dan koma yang salah penempatan kayaknya. ( gatau juga sih ) Hehehe. Ngeliat dari sudut pandang yang berbeda, kayaknya asik juga. Sekali lagi ah, keren. :D

    ReplyDelete

Berkomentarlah sebelum berkomentar itu diharamkan