Memang selalu begini keadaannya ketika guru tidak
masuk kelas. Kertas-kertas kecil digulung, lalu dilemparkan ke kepala teman.
Yang terkena akan mengumpat kecil, lalu membalas. Ada juga yang saling
kejar-kejaran, meliuk-liuk di antara bangku. Bising. Teriakan dan sorakan
menulikan telinga.
Tapi aku tidak menaruh perhatian pada semua itu. Aku
sekarang sedang asyik menatap Deni, yang juga sedang asyik membaca buku.
Jantungku kebat-kebit tak karuan. “Hampiri
saja dia.” Hatiku berkata. “Jangan.
Kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri. Kamu kan cewek.” Otakku
berkata lain.
Aku gelisah. Dudukku menjadi tidak tenang. Bagai
cacing kepanasan. Kutelungkupkan kepala di meja. Galau. “Sekarang atau tidak sama sekali.” Hatiku memberi semangat. Aku
memantapkan langkah menuju meja Deni.
“Den, kamu bisa bantuin aku ngerjain soal fisika
ini, gak? Bingung banget nih cara ngerjainnya.” Aku berusaha tersenyum.
Mengendalikan degup jantung.
Deni mendongakkan kepalanya. Melihat buku fisika di
tanganku, lalu menatapku tajam. Lututku mulai goyah. Tuhan bantu aku.
“Oh. Soal yang kemarin itu? Aku juga kurang ngerti
tuh. Mungkin kamu bisa tanya Febri. Dia kan jago banget Fisika. Maaf ya.” Deni
tersenyum tipis. Harapanku untuk bisa ngobrol berdua dengannya pupus sudah.
“Oh. Oke. Gapapa kok.” Aku melangkah cepat ke tempat
dudukku. Menelungkupkan kepala di meja sambil mengutuki diri sendiri.
***
Aku membolak-balik buku “Sejuta cara untuk memperoleh pacar” tanpa semangat. Buku ini omong
kosong. Semua sudah kupraktekkan, tapi tidak ada yang berhasil. Aku menoleh
sekilas ke belakang. Tiga bangku dari tempatku. Vania. Cewek pujaan semua cowok
di angkatanku. Dia juga cewek yang paling sulit ditaklukkan. Vania hari ini
sangat cantik. Yaaa, dia memang selalu cantik sih. Sial, dia menoleh ke arahku.
Aku gelagapan memalingkan pandangan.
“Beranikanlah
dirimu. Ajaklah dia ngobrol. Sampai kapan sih kamu mau jadi pengagum rahasia
terus?” jerit hatiku kesal.
“Tapi aku takut. Dia pasti tidak tertarik untuk
ngobrol denganku. Aku terlalu membosankan untuknya.”
“Kau bahkan
belum mencoba.”
“Karna aku tau sia-sia saja untuk mencoba.”
“Pengecut.”
Aku hanya manyun. Dikalahkan oleh hati sendiri itu
rasanya gak enak. Aku menoleh lagi ke belakang. Vania sedang menelungkupkan
kepalanya di meja.
“Baiklah. Aku akan kesana dan ngobrol dengannya.
Kalau gagal, kau harus tanggung jawab,” ancamku pada hati. Aku menarik napas
panjang.
“Den, kamu bisa bantuin aku ngerjain soal fisika
ini, gak? Bingung banget nih cara ngerjainnya.”
Aku tergagap. Vania tiba-tiba sudah berdiri dengan
anggun di hadapanku. Vania meminta bantuanku? Mimpi apa aku semalam? Dan
senyumnya itu. Astaga aku kehilangan kata-kata. Buyar.
“Oh. Soal yang kemarin itu? Aku juga kurang ngerti
tuh. Mungkin kamu bisa tanya Febri. Dia kan jago banget Fisika. Maaf ya.”
Hah? Kenapa malah kalimat itu yang keluar? Soal itu bahkan lebih mudah dari 1+1.
“Oh. Oke. Gapapa kok.” Vania tersenyum lalu
melangkah pergi.
Aku hanya termangu menatap punggung gadis pujaanku.
Aku telah menyia-nyiakan kesempatan. Arghhh tolol, rasanya aku ingin
membenturkan kepala di tembok.
***
Sebentar lagi akan ada promnite. Aku beberapa kali
mengatur skenario agar bisa berjumpa dengan Deni. Aku “tidak sengaja” berjumpa
dengannya ketika pulang sekolah. Atau “tidak sengaja” berpapasan di kantin.
Banyak “tidak sengaja” yang kuciptakan hanya untuk menanyakan tentang promnite.
“Den. Kamu nanti datang ke promnite gak?” tanyaku ketika
“tidak sengaja” bertemu di kantin.
“Belum tau. Liat nanti deh. Kalau kamu?”
“Belum tau juga. Belum ada yang ngajak sih. Hehe.”
Aku berusaha memberikan senyum paling manis.
“Haha. Nanti bakalan ada juga yang ngajak kok.”
“Hmm. Iyadeh.”
Aku ingin menjitak kepala Deni. Tidakkah dia tau
arti dari kode tersebut? Apakah semua cowok sebodoh ini dalam menanggapi kode
dari cewek? Ataukah dia memang tidak menaruh perhatian padaku? Apakah cintaku
bertepuk sebelah tangan?
“Van. Kamu belum ada yang ngajak ya? Dengan aku aja
ya perginya.”
Aldo tiba-tiba menyela. Sambil menaik-naikkan
alisnya. Dih playboy kampungan. Aku
menggigit bibir bawahku. Ragu. Ohh Deni, coba kamu yang mengajak dengan cara
seperti ini. Pasti aku akan langsung mengiyakan. Dan seharusnya juga kau
menyela permintaan Aldo dan berkata ‘Vania akan pergi denganku.’ Aku menatapnya
penuh harap, namun dia hanya terseyum.
Aku menghela napas. “Baiklah, Aldo. Aku akan pergi
denganmu.”
Aldo tersenyum lebar. “Dandan yang cantik ya. Nanti
malam jam 7 aku jemput.” Aku hanya tersenyum masam.
***
Sebentar lagi akan ada promnite. Aku beberapa kali
mengatur skenario agar bisa berjumpa dengan Vania. Aku “tidak sengaja” berjumpa
dengannya ketika pulang sekolah. Atau “tidak sengaja” berpapasan di kantin.
Banyak “tidak sengaja” yang kuciptakan hanya untuk menanyakan tentang promnite.
Seperti ketika “tidak sengaja” bertemu dengannya di
kantin hari ini. Aku melangkahkan kaki pelan ke arahnya. Dia sedang menyeruput
es jeruk kesukaannya. Kadang aku berangan-angan ingin menjadi sedotannya.
Aku baru akan membuka mulut, ketika....
“Den. Kamu nanti datang ke promnite gak?
Ditembak seperti itu, aku langsung terpaku. Ya
Tuhan, ciptaanmu indah sekali. Lihatlah rambutnya yang digerai, ditiup angin
dengan lembut. Bagai model iklan sampo. Bibirnya yang merah alami. Aroma parfumnya
yang menggoda. Dan dia baru saja bertanya kepadaku tentang promnite. Aku akan
menjawab dengan benar kali ini.
“Belum tau. Liat nanti deh. Kalau kamu?”
Sial. Kenapa bibirku nggak sinkron dengan otak? Atau
emang otakku yang kacau? Argh. Aku mengacaukannya lagi kali ini. Otakku benar-benar
blank jika berhadapan dengan dia.
“Belum tau juga. Belum ada yang ngajak sih. Hehe.”
Nah. Kesempatan datang lagi. Dia pasti lagi
memberikan kode untukku. Kubujuk bibirku agar mau mengatakan ‘Kamu mau gak
pergi denganku?’. Ya ampun, dia tersenyum manis sekali. Ayolah, apa susahnya
mengatakan hal tersebut. ‘Kamu mau gak
pergi denganku?’
“Haha. Nanti bakalan ada juga yang ngajak kok.”
Senyum itu benar-benar beracun. Aku tidak bisa
berpikir jernih jika selalu disuguhi senyum seperti itu.
“Hmm. Iyadeh.”
Tubuhku lunglai. Hilang sudah kesempatanku.
Bodoh..bodoh...bodoh..
“Van. Kamu belum ada yang ngajak ya? Dengan aku aja
ya perginya.”
Aldo tiba-tiba menyela. Seandainya aku bisa sejantan
itu meminta Vania untuk pergi denganku. Aku hanya menatap hampa ke arah mereka.
Mereka pasti jadi pasangan yang serasi sekali. Lihatlah, Vania kelihatannya
bahagia sekali diajak oleh si tampan satu ini. Dia tidak berhenti tersenyum.
“Baiklah, Aldo. Aku akan pergi denganmu.”
Aldo tersenyum lebar. “Dandan yang cantik ya. Nanti
malam jam 7 aku jemput.”
Duniaku seakan mau runtuh.
***
Aku mematut diri di depan cermin. Aku tidak akan
tampil maksimal hari ini. Seandainya saja Deni yang mengajak. Pasti aku akan
habis-habisan. Si bodoh satu itu memang kelewatan. Dan sekarang aku malah pergi
dengan Aldo, playboy cap kaki lima.
Ketika Aldo datang, aku harus bersusah payah
mengalihkan pembicaraan agar orangtuaku tidak menggodaku terus.
“Akhirnya Vania laku juga. Kamu jaga dia baik-baik
ya Nak Aldo. Jangan pulang terlalu malam.”
“Sip deh. Om. Serahkan saja sama saya.” Aldo
merangkul pundakku. “Yuk... kita pergi. Mari Om..Tante.”
“Iya. Hati-hati di jalan ya.”
Coba Deni yang ngajak aku. Pasti akan kukenalkan dia
dengan senang hati kepada Papa dan Mama. Tipeku bukan cecunguk seperti Aldo.
Dia malah dengan seenaknya mengaku-ngaku sebagai pacarku.
Di promnite, kami malah dikerubungi. Dipuji-puji
sebagai pasangan yang serasi. Aku hanya tersenyum. Malas membantah. Dan Aldo
tak henti-hentinya merangkul pundakku. Sekali waktu dia malah mencoba mencium
pipiku. Tasku dengan senang hati mendarat di bibirnya.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari Deni.
Nah, itu dia disana. Sedang mengambil sirup. Apakah dia tidak bisa berdandan
lebih rapi? Keadaannya benar-benar awut-awutan. Aku ingin menyapanya sebentar.
“Hey Van. Kirain kamu gak bakalan bisa ditaklukkin.
Eh ternyata takluk juga sama Aldo.” Rini menyenggol lenganku. Aku
mengabaikannya. Aku lebih asyik mencuri pandang ke arah Deni. Dia malah tidak
melihat ke arahku sedikitpun. Dia sedang asik ngobrol dengan Rio.
“Do. Jangan sampai nyakitin Vania ya. Dia itu
kembang sekolah kita. Kalau dia sampe nangis, ancur kau nanti,” canda Gino.
“Tenang aja bro. Dia bakalan kujaga hingga ke
pelaminan. Iya kan, Van?”
Aku mengangguk pasrah. Semoga acara promnite ini
cepat usai.
***
Aku mengacak-ngacak rambutku. Frustasi. Seharusnya
malam ini adalah malam yang bahagia. Seharusnya malam ini aku berkenalan dengan
orangtua Vania. Berkata bahwa aku akan menjaga anak mereka. Tapi, nyatanya aku
malah berakhir disini.
Kuambil kemeja lecek di salah satu gantungan baju.
Tak ada gunanya rapi dan tampil maksimal. Toh Vania tidak akan memperhatikan.
Dia pasti sedang asyik bercanda dengan Aldo. Darahku mendidih memikirkan hal
ini.
Di promnite, mereka bagaikan raja dan ratu pesta.
Tampil tampan dan cantik. Menawan. Menyulut api cemburu di hatiku. Seandainya
aku lebih berani, pasti aku yang menggandeng tangannya sekarang. Seandainya
bibirku bisa diajak bekerja sama, pasti aku yang merangkul pundaknya dengan
hangat.
Ribuan seandainya berputar-putar di benakku.Kuambil secangkir minuman. Berusaha mendinginkan
hati.
“Eh.. Den. Lihat tuh Vania dan Aldo. Serasi banget
ya. Gak nyangka, Vania bakal jatuh ke tangan Aldo yang terkenal playboy.” Rio
mencolek lenganku.
“Iya.. aku juga gak nyangka. Tapi kayaknya sih Vania
happy banget. Dia aja gak berhenti senyum daritadi.”
“Harusnya kau juga kayak gitu tuh. Bawa gandengan.
Mau sampai kapan jomblo? Hahaha. Beraniin diri nembak cewek lah.”
Rio mengusik masalah hatiku yang paling dalam.
“Nanti aja deh urusan pacaran. Gak minat. Mau konsen
belajar aja.” Aku cengengesan.
Rio hanya mengangkat bahu.
Musnah sudah harapanku untuk menjadi pacar Vania.
Tampaknya rasa cinta ini memang harus kukubur dalam-dalam. Aku tidak pantas
disampingnya. Aldo memang lebih layak. Cintaku benar-benar bertepuk sebelah
tangan. Setidaknya aku masih bisa menikmati senyumnya, walau bukan untukku.
Kutarik napas panjang. Kuharap promnite ini cepat
usai
***
Brukk. Buku berjatuhan.
Deni membungkuk. Membantu mengumpulkan buku yang
berceceran. Dia memang berjalan sambil melamun tadi.
“Maaf ya. Aku yang salah. Gak lihat-lihat tadi.”
“Iya gapapa kok. Aku juga salah,” kata perempuan
tersebut sambil memunguti buku.
“Eh, ternyata kamu, Den. Kirain siapa. Hai. “Vania
tersenyum manis.”
Deni salah tingkah. Dia terbatuk-batuk kecil.
“Eh hai Van. Mau kemana nih?” Deni sebenarnya tau
Vania selalu membaca buku di kantin ketika istirahat. Vania juga selalu tau
kalau Deni mau ke perpustakaan ketika istirahat.
“Perpustakaan. Kamu?
Sama.
“Mau ke kantin nih. Laper.”
“Okedeh. Daahh.”
Deni melambai. Kesempatan itu hilang lagi.
TAMAT
Nah. Pesan moral dari cerpen ini adalah, beranilah
mengungkapkan cinta. Karena kamu tidak tau sedekat apakah jodohmu. Mungkin saja
hanya sedekat tarikan napas. Oh ya, cerpen ini terinspirasi dari buku kumpulan
cerpen Tere Liye yang berjudul “Berjuta Rasanya.”
Kritik dan saran untuk cerpen ini sangat diharapkan.
Kalau kamu pernah mengalami kisah seperti ini juga, yuk share di kotak
komentar. Akhir kata, aku cuma mau bilang... when you love someone, just be brave to say.
Salam Asal